Chapter 24

151 24 0
                                    


Warning:

Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.

Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/

***

Kondisi kesehatan Eras sudah membaik di sore hari. Kemampuan Clairadiencenya juga telah pulih.

Hal pertama yang lakukannya setalah kemampuannya pulih adalah melacak Simon dan yang lainnya ada di mana. Setelah mengetahui keberadaan Simon, Morlan, dan Melanie. Erastus langsung membawaku berteleportasi bersamanya.

Karena kekuatannya sudah pulih. Erastus berteleportasi dengan cepat dan stabil kali ini. Aku juga berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir gerakanku di dalam pelukannya. Kalau-kalau, nanti aku akan mengganggu konsentrasinya.

Hanya dalam sekejap, aku dan Eras berpindah tempat dan tiba disisi lain hutan.

Sekitar sepuluh meter jauhnya dari kami. Aku bisa mendengar suara perdebatan Morlan dan Melanie. Suara pertengkaran itu menandakan kami tiba di tempat yang tepat.

Aku baru akan langsung menghampiri mereka saat seseorang menarik tanganku. Tanganku digenggam sedemikian rupa sehingga aku tidak bisa pergi kemana-mana.

Siapa lagi kalau bukan Eras pelakunya.

"Kau kenapa?" tanya lelaki itu sambil menatap kedua bola mataku. Erastus memandangku dengan kening berkerut, "Apa kau sedang marah?"

Melihat tatapan interogasinya itu, mataku mengelak. "Aku tidak," balasku dengan nada sesantai mungkin.

Aku tidak mungkin jujur padanya dan mengatakan kalau kami ini sebenarnya jodohkan?

Eras tersenyum mengejek. Dia menatapku seolah-olah dia sudah tahu segala isi kepalaku.

"Kau tiba-tiba mendiamiku dan tidak mau menatap mataku," tuduhnya padaku.

Harus kuakui, setelah melihat benang merahku dan Eras terhubung, aku mulai mendiaminya dan tidak mau berbicara lagi padanya. Bukannya apa-apa, aku hanya belum bisa mencerna semua ini.

Sebelumnya, aku tidak bisa melihat benang merahku sendiri, tapi sekarang aku bisa. Belum lagi, benang merahku ternyata adalah Erastus. Orang yang mungkin sangat membenciku.

Aku tentu saja belum bisa menerima fakta mengejutkan ini. Kurasa kapasitas otakku yang kecil tidak mampu menerimanya.

"Apa kau menyukaiku?" Erastus tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang membuat tanganku gatal ingin kembali melayangkan pukulan di wajahnya.

Lihat betapa narsisnya lelaki itu!

Kalau tadi aku sampai berkata jujur dan mengatakan benang merahku dan benang merahnya saling terhubung. Erastus mungkin akan besar kepala karena berpikir aku benar-benar menyukainya.

Saat akan berdebat dengannya, tiba-tiba suara teriakan Melanie terdegar memecah kesunyian hutan. Gadis itu meneriakkan namaku.

"Alice!"

Melanie yang biasanya selalu tangguh dan kuat itu berlari dengan sekuat tenaga dan menerjangku. Aku akan jatuh terjungkal jika saja tangan Eras tidak menahanku.

Tidak memerhatikan kecelakaan yang hampir di buatnya, Melanie mengoceh. "Kupikir kalian sudah mati!"

Untungnya aku sudah terbiasa dengan kata-katanya yang selalu blak-blakan, jadi aku tidak lagi terkejut. Kalau tidak, aku mungkin akan salah paham dan berpikir kalau gadis ini sedang mengutukku.

Morlan mendengus di belakang gadis itu dan bergumam, "Idiot."

Melanie menembakkan tatapan kesal pada Morlan.

Simon yang melihat kami kembali, mulai wawancarai kami selayaknya seorang reporter.

Setelah Simon puas bertanya. Barulah kami membuat strategi baru untuk menemukan darah Behemont lebih cepat. Erastus juga menetapkan peraturan baru untuk mengantisipasi bahaya yang bisa muncul tiba-tiba seperti kemarin. Dia meminta kami untuk tidak menyecerkan barang keluar. Munkin Eras mengantisipasi jika ada keadaan darurat seperti kemarin kami langsung melarikan diri.

Lelaki itu membuat peraturan jaga, supaya setiap malam harus ada orang yang berjaga. Kami akan tidur secara bergantian untuk menjaga yang lain, mungkin dia takut kalau-kalau ada makhluk aneh lain yang akan menyerang disaat kami tertidur.

[.]

Kami telah berjalan setidaknya tiga hari untuk tiba di lokasi kami saat ini.

Di depan kami, ada hutan dengan pepohonan yang lebih tinggi dan lebat dari pada yang kami lewati sebelumnya.

"Kita seharusnya di hutan ilusi sekarang," Simon menerangkan. Lelaki itu berjalan maju sedikit sambil memperbaiki letak kacamatanya sebelum melanjutkan, "aku pernah membaca tentang hutan ini sebelumnya. Di sebut ilusi karena tidak ada yang nyata didalamnya. Sebenarnya, aku pun tidak mengerti apa maksudnya. Tapi, kita pasti akan menemukan jawabannya di dalam sana."

Kami sepakat, untuk memasuki hutan ilusi bersama-sama. Eras memimpin paling depan, sedangkan paling belakang di jaga oleh Morlan.

Melanie dan aku di biarkan berada di tengah-tengah. Gadis itu mengambil kesempatan berbicara padaku. "Ada apa denganmu dan Eras?"

Bahkan Melanie pun, yang biasanya tidak tertarik pada gosip. Penasaran dengan hal ini.

"Nggak kenapa-napa," balasku datar.

Untungnya, Melanie bukan tipe gadis yang akan terus bertanya.

Kabut sangat tebal di dalam hutan itu, kami bahkan tidak bisa melihat apa pun yang ada di depan.

Pada awalnya, semua berjalan mulus. Tapi di tengah-tengah perjalanan aku tiba-tiba berpisah dengan yang lainnya.

Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mendadak lenyap begitu saja. Entah bagaimana kami bisa berpisah. Rasa panik tiba-tiba menghatuiku. Tanpa bantuan dari mereka, aku hanya bagaikan remah roti di sini, gampang di hancurkan.

Aku berusaha menemukan mereka, tetapi karena kabut disekelilingku kian pekat dan aku tidak bisa menemukan mereka.

"Alice..."

Lalu sebuah suara mengagetkanku. Aku sudah lama tidak mendegar suara itu.

Suara Papa.

Aku menoleh dan menemukan Papa, Mama, Alex, dan Sabrina di sana.

Keluarga yang lengkap.

Papa melambai memanggilku, "Alice, kemari sayang."

Kakiku membeku melihat mereka. Selama hampir tujuh tahun, setelah Papa meninggal. Aku telah memimpikan adengan ini berkali-kali. Keluarga yang utuh. Di mana, Papa dan Alex masih hidup dan juga Mama masih menyayangiku.

Kepalaku tak lagi jernih. Yang kutahu saat ini adalah aku tidak boleh kehilangan keluargaku lagi aku harus berjalan ke arah mereka.

Papa meraih dan memelukku erat. Dia mungkin amat merindukanku, seperti aku merindukannya juga.

Napasku tercekik dan badanku rasanya remuk. Pelukan Papa mencekikku, aku tidak bisa bernapas di buatnya.

Saat aku hampir kehilangan oksigen, tiba-tiba terdengar suara tebasan yang di sertai melonggarnya pelukan Papa dariku.

Aku langsung jatuh dan berbatuk-batuk karena kekurangan oksigen. Saat mendongak, aku mendapati Erastus berdiri dengan memegang pedangnya di sana.

"Kau bodoh! Kenapa kau bisa tertipu juga dengan pohon ilusi? Kalau aku tidak datang tepat waktu, nyawamu mungkin sudah melayang."

Lelaki itu terus berteriak dengan kesal, tanpa memedulikan bagaimana keadaanku.

Akar pohon ilusi masih melilit di sekitar perutku. Pelukan hangat yang tadinya kukira adalah Papa ternyata adalah akar pohon ilusi yang mencoba mencekikku hingga mati.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak. Sekecil apa pun apresiasimu itu akan sangat berarti.

Yellow Chocolate

Thread Of Destiny  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang