Bab ini buat dalam keadaan tidak mood menulis + mengantuk + buru-buru. Sudah jelas hasilnya jadi anu. Yah, walaupun bab lain juga anu sih. Pokoknya gitu deh. Tapi, semoga masih bisa dibaca ^o^
.
.
.
Warning:Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.
Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/***
Tapi, tunggu-tunggu!
Aku sepertinya telah melewatkan sesuatu.
Erastus bilang Prof. Leonor adalah ayahnya. Tapi sebelumnya, aku pernah mendengar kalau ayah Erastus sudah meninggal!
Apa lelaki tengik ini sedang mengerjaiku? Mungkin saja dia hanya mengada-ada 'kan?
Aku melemparkan pandangan curiga padanya.
"Ayahmu..." kataku menggantung sambil mengamati ekspresi laki-laki itu. Aku berdehem kemudian melanjutkan "Bukannya dia sudah meninggal?"
"Secara teori seharusnya, ya." Simon berbicara sambil memandangku, "Tapi nyatanya, dia belum. Saat usiaku masih lima tahun, ayahku tiba-tiba menghilang. Berbulan-bulan, Mama mencarinya. Tapi nihil, dia tidak mendapat hasil apapun. Mama akhirnya menyerah, semua orang juga sudah berpikir dia meninggal. Tapi, ayah tidak. Dia lebih memilih tinggal di Rothenburg, meninggalkan ibu dan aku."
Meskipun bagian ayahnya meninggalkan mereka agak menyedihkan. Tapi setidaknya dia punya keluarga yang berkuasa. Baik itu di Rothenburg atau pun dunia normal.
"Hidupmu sempurna sekali, entah itu di Rothenburg atau pun di dunia manusia normal, kau memiliki keluarga yang berkuasa," desahku iri.
Alam semesta semakin tidak adil saja. Saat diciptakan, Eras dilahirkan sebagai anak emas.
"Kau iri?"
Aku menggangguk dan secara terbuka mengakuinya.
Erastus sedikit menyunggingkan senyum. Senyumnya tampak miris. "Sebaiknya jangan."
Aku mengerutkan kening dan bertanya. "Kenapa?"
"Tidak semua yang kelihatan hebat dari luar, juga sama di dalam, gadis kucir," ucapnya sambil menatapku. "Semua orang akan memerhatikanmu dan kau harus siap untuk hidup 'sempurna'. Satu kesalahan saja, bisa merusak segalanya."
"Aku telah hidup seperti ini selama bertahun-tahun. Dan rasanya menyiksa." Erastus mengatakan hal itu dengan ekspresi mengejek dirinya sendiri. Kuperhatikan wajahnya terlihat agak sendu sekarang.
Aku sepertinya menarik kalimatku yang tadi, ternyata Eras tidak seperti sesempurna itu.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanyanya balik.
Aku mulai mebimbang-nimbang apakah harus mengatakan yang sebenarnya padanya. Bagaimana pun pemuda itu menceritakan banyak hal padaku.
Eras menatapku tajam, mungkin lelaki itu menunggu aku untuk membongkar aibku padanya.
"Eum, hari itu aku bertengkar dengan ibuku," kataku singkat.
"Itu saja?" Eras bertanya dengan nada protes.
Tadinya aku berniat untuk menceritakan yang sebenarnya padanya. Tapi melihat wajah protesnya, aku jadi tergoda untuk mengerjainya. Biarlah lelaki itu merasakan frustrasi sesekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thread Of Destiny
FantasyAlice, gadis 17 tahun yang dapat melihat benang takdir, mendadak mendapat undangan ke Rothenburg-sekolah para Giftlent-istilah untuk manusia yang terlahir dengan talenta/kekuatan khusus. Alice hanya ingin kehidupan yang normal, tetapi Rothenburg je...