Bab ini buat dalam keadaan tidak mood menulis + mengantuk + buru-buru. Sudah jelas hasilnya jadi anu. Yah, walaupun bab lain juga anu sih. Pokoknya gitu deh. Tapi, semoga masih bisa dibaca ^_^
.
.
.
Warning:Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.
Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/***
Aku tidak menanggapi Eras untuk sementara waktu. Aku masih syok. Ilusi itu terlalu nyata untuk dapat ku abaikan.
"Ada apa?" Eras berseru heran ketika melihatku mulai meneteskan air mata. Lelaki itu mulai mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Dia menekuk salah satu lututnya untuk mensejajarkan wajahnya denganku.
"Papa..." balasku tersedat isak tangis. "Aku melihat Papa. Juga Alex, Sabrina dan Mama. Keluarga kami yang utuh."
Eras mengangkat sebelah tangannya dan mengusap air mataku. Ada kelembutan di mata lelaki itu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bukannya terhibur, tangisku malah menjadi pecah dibuatnya.
Napasku tersedat dan isak tangisku menjadi semakin kuat. Aku tidak lagi mampu mengendalikan diriku. Rasanya semua kekesalan yang telah kutahan berhari-hari lamanya akhirnya keluar semua.
Aku jadi agak takut, kalau-kalau Eras menjadi kesal dan meninggalkanku sendiri di sini.
Berbeda dari pikiranku, Eras ternyata tidak meninggalkanku. Lelaki itu malah menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
"Jangan menangis, oke? Aku minta maaf." Erastus membujukku sambil terus menyeka pipiku. "Ssttt... Tenang-tenang."
Sayangnya air mataku tak mau berhenti. Aku menagis sampai napasku tersedat-sedat, persis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.
Erastus memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. Dia membujukku layaknya seorang ibu pada anaknya. Aku tak lagi segan dan terus menagis sampai aku puas.
Setelah beberapa waktu, aku akhirnya berhenti. Air mata dan juga ingusku meninggalkan jejak basah besar di bajunya. Aku saja yang melihatnya, merasa agak jijik, apalagi Erastus.
"Ayo keluar dulu dari sini," ucapnya tidak memedulikan noda besar di bajunya.
Dia menatapku dan bertanya, "Apa kau masih bisa berjalan? Atau perlu kah aku menggendongmu?" tanyanya dengan senyum jahil menggoda.
Harus kuakui, dia memang tampak agak tampan sekarang ini. "Ak—aku bisa sendiri," balasku dengan agak tergagap.
Saat aku berusaha berdiri, kakiku langsung goyah. Erastus langsung menagkapku sebelum aku kembali mencium tanah.
Kakiku terasa lemas."Hati-hati."
Hanya kata-kata sedehana itu, tapi dia berhasil membuat jantungku berdebar lebih kencang dari pada biasanya.
Ini salah! Semenjak aku tahu kalau Erastus adalah benang mereahku, jantungku rasanya akan meledak keluar saat ada di dekatnya.
Karena aku tidak bisa berjalan dengan benar, terpaksa, Erastus harus membawaku. Karena di dalam Bloodforest Eras tidak bisa melakukan teleportasi, akhirnya dia harus memapahku.
Erastus memapahku keluar dari hutan itu. Di luar hutan, Simon, Morlan dan Melanie sedang menunggu kami.
Mereka langsung berdiri begitu melihat kami keluar. Melanie menjadi orang yang paling bersemangat melihat kami berhasil keluar.
Dia mendekati kami.
"Lehermu..." Melanie bertanya dengan wajah heran begitu melihat leherku. Mungkin bekas lilitan akar pohon tadi sudah membekas di sana."Aku baik-baik saja."
Simon menyelaku dan Melanie. Dia langsung bertanya dengan nada penasaran. "Kau melihat apa di dalam sana?" tanyanya.
Tanpa menunggu jawabanku, dia kembali menambahkan. "Aku melihat buku sejarah Rothenburg yang berusia hampir seratus tahun, Morlan melihat dirinya di masa depan sebagai petarung terkuat di Rothenburg, sedang kan Melanie melihat tingkat kekuatannya melebihi Morlan, dia juga mengalahkan Morlan dalam ilusinya. Setelah aku perhatikan, hutan ilusi ternyata memperlihatkan ilusi hal yang paling kita inginkan dalam hidup. Dia melakukan ini untuk menghipnotis kita. Jadi setelah kita kehilangan kesadaran, pohon ilusi bisa mengekstrak dan memakan kita."
Penjelasan Simon akhirnya menjawab semua pertanyaanku. Pantas saja, di dalam hutan itu aku bisa melihat keluargaku yang utuh, ternyata semua itu hanya ilusi.
Melihatku tak kunjung menjawabnya, Simon terus bertanya. Tidak ada lagi tampang malu-malu di wajah lelaki itu.
"Kau yang paling lama keluar, kau mendapat ilusi apa memangnya?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya kali ini. Jujur saja, masalah keluarga agak sensitif buatku. Aku belum siap menceritakan hal yang satu ini.
Kalau untuk masalah Eras, aku hanya kelepasan saja tadi. Iya, hanya kelepasan.
Aku berusaha melepaskan senyum ceria se-alami mungkin. "Rahasia!" Kuharap senyum itu tidak tampak menyeramkan.
Simon berdecak, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Kita berhasil keluar dengan cepat. Ternyata lebih mudah dari yang aku harapkan," celetuk Morlan dengan nada agak remeh.
Lelaki itu tidak tahu saja kalau nyawaku hampir melayang tadi.
[.]
Kami tiba di tempat tujuan kami selanjutnya, yaitu labirin batu.
Seperti namanya, tempat ini penuh dengan labirin-labirin yang terbuat dari batu.
Di depan labirin, ada empat pintu masuk yang salah satunya seharusnya membawa kami ke gua tempat monster Behemont itu tinggal.
Erastus membentangkan peta ke tanah. Lelaki itu menunjuk jalan yang harus kami lewati selanjutnya.
"Kita berada di sini," jelas Eras sambil menunjuk salah satu lokasi dalam peta. "Artinya kita sudah sangat dekat dengan gua tempat Behemont itu tinggal. Kita hanya harus melewati labirin batu ini sebelum menemukan gua itu. Hanya saja, ada tiga pintu masuk di depan gua. Di antara tiga, hanya ada satu pintu masuk ke gua yang benar."
Morlan langsung mengintrupeksi Eras, "Kalau begitu kita harus berpencar untuk mencari pintu masuk yang benar. Waktu kita sudah tidak banyak. Dengan berpencar, kita mungkin bisa menemukan pintu yang benar dengan cepat."
Erastus tidak setuju. "Jangan berpencar. Kita masih belum tahu mana pintu yang benar dan juga apa yang ada di dalam labirin ini. Kalau salah satu dari kita memilih pintu yang salah dan menemukan masalah di salam labirin bagaimana?"
Erastus sudah mencoba untuk mendeteksi apa yang ada di dalam labirin, tetapi dia tidak mampu mendetsiksi apa pun.
Erastus mengatakan pada kami, bahwa kekuatan teleport dan Clairadience-nya menjadi lebih lemah di tempat ini. Untung saja, kekuatan bertarungnya tidak ikutan melemah juga di sini.
"Aku setuju pada Eras," bela Simon.
Melanie yang biasanya, tidak pernah berpihak pada Morlan, akhirnya mendukung pendapat lelaki itu, "Aku setuju pada Morlan. Kita sudah hampir kehabisan waktu. Jika kita terlambat kembali, bisa-bisa kalau Rothenburg sudah hancur saat kita tiba."
Karena suaranya imbang mereka tidak bisa memutuskan untuk sementara waktu.
Simon tiba-tiba mengemukakan idenya untuk menghentikan kebuntutan ini.
"Tinggal satu orang lagi yang belum memberi suaranya."
Mereka langsung kompak menoleh kearahku.
Maksud mereka aku?
Melanie memandangku dengan penuh harap. Sedangkan Eras melemparkan tatapan yakin kalau aku akan memilihnya.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak. Sekecil apa pun apresiasimu, itu akan sangat berarti.
Yellow Chocolate
KAMU SEDANG MEMBACA
Thread Of Destiny
FantasyAlice, gadis 17 tahun yang dapat melihat benang takdir, mendadak mendapat undangan ke Rothenburg-sekolah para Giftlent-istilah untuk manusia yang terlahir dengan talenta/kekuatan khusus. Alice hanya ingin kehidupan yang normal, tetapi Rothenburg je...