Putri Api

202 17 0
                                    

Aku tidak ingat kapan pertama kali menyadari kemampuan ini. Yang jelas saat aku masih sangat kecil, aku tak sengaja membakar tirai jendela kamar dengan api dari tanganku. Membuat api berkobar hebat membakar tirai putih kesayangan Ibu. Aku yang sebelumnya memegang tirai jendela itu terduduk ke lantai, wajahku pucat menahan rasa kaget dan cemas yang saling bercampur.

Sesaat kemudian, suaraku keluar dengan histeris, berteriak ketakutan memanggil Ayah dan Ibu. Api menyala terang menghanguskan tirai jendela. Suasana malam yang lengang pecah oleh teriakanku. Ayah dan Ibu mendengarnya dari bawah, mereka lekas naik ke lantai dua. Saat sampai di kamarku, Ayah terlihat panik, lekas turun ke bawah lagi, mengambil seember air dan kembali ke kamar. Dalam satu siraman, apinya segera padam. Ayah menyeka keringat yang mengucur dari dahinya, wajahnya terlihat masih tegang.

"Astaga, Naya ... siapa yang menyuruhmu bermain korek api di kamar?" Ayah berusaha menahan emosinya, mukanya terlihat merah padam.

Aku menggeleng ketakutan, wajahku pucat pasi, nafasku menderu sesak menahan tangis di dalam dekapan Ibu yang memelukku dengan erat.

"Naya tidak bermain korek api, Yah. Jangan marahi dia seperti itu." Ibu membelaku.

"Truss api ini dari mana, Bu? Kenapa bisa ada api di kamar Naya kalau bukan dari korek?" Ayah menatapku menyelidik.

"Udah, jangan dibahas lagi, yang penting apinya sudah padam." Ibu duduk berjongkok, merapikan poni rambutku yang lurus ke belakang telinga. Dia menatapku dengan tersenyum, seolah kejadian barusan tidak masalah sama sekali baginya.

"Udah, Sayang, nggak usah takut, apinya sudah padam kok," tutur Ibu seraya mencubit pipi putihku yang gembul.

"Astaga Ibu ... ini api lho, kok dianggap enteng begitu saja, bisa kebakaran rumah kita." Ayah terlihat keheranan dengan sikap Ibu.

"Iya, Ibu tahu, tapi Ayah jangan menyalahkan Naya juga, dia nggak mungkin bermain-main korek api di kamar. Dari mana dia punya korek api coba?" sergah Ibu.

Ayah mengembuskan nafas panjang seperti mengamini ucapan Ibu. Ia berjalan ke arah jendela. Membuka jendela dan melihat keluar kamar, meneliti apa yang bisa ia lihat di luar, juga memandangi setiap sudut jendela. Tapi nihil, hanya pohon pinang yang daunnya melambai di terpa angin terlihat di luar, juga rumput hijau samping rumah kami yang terang oleh bias lampu rumah. Ayah juga memegang abu dari tirai yang hangus terbakar. Ia menggaruk-garuk kepala, heran dari mana api itu datang.

Kesiur angin malam masuk menerpa wajah dan rambut Ayah. Lekas Ayah menutup lagi jendela, melihat kepadaku dengan datar. Sementara aku memeluk Ibu dengan erat. Takut jika Ayah marah kepadaku. Tapi tidak, ia ikut duduk berlutut seperti ibu, mengusap rambut lurusku dengan lembut.

"Udah, Ayah nggak marah sama Naya kok." Ayah ikut mencubit pipi gembulku, Ia tersenyum, dan lekas aku berpaling dari pelukan Ibu ke dalam pelukan Ayah. Mengadukan rasa takutku kepadanya.

Malam itu aku tidur di kamar mereka, umurku masih empat tahun, masih suka membawa boneka beruang berwarna putih kesukaanku yang ukurannya jauh lebih besar dari tubuhku sendiri. Tapi setiap aku tidur di kamar Ayah dan Ibu, aku terpaksa meninggalkannya di kamar.

Beberapa bulan setelah itu, tepatnya hari Minggu, Ayah libur, dia berjanji membawaku ke kebun binatang, melihat beruang langsung disana. Hari itu masih sangat pagi, matahari bahkan baru sedikit menampakkan cahayanya di ufuk timur. Samar-samar masuk ke dalam kamarku yang terang oleh cahaya lampu dari tirai jendela. Aku dengan langkah kecil, menarik si beruang putih untuk ikut turun denganku ke bawah, menuju kamar Ayah dan Ibu. Membangunkan mereka, dan menyuruh mereka untuk segera bersiap-siap.

Entah apa yang terjadi, langkah kecilku yang terkadang kesulitan menuruni anak tangga menuju kamar Ayah dan Ibu terhenti di ujung tangga. Lampu tiba-tiba mati, aku teriak cemas hingga si beruang putih terlepas dari tanganku. Aku berlari ketakutan ke pintu kamar Ayah dan Ibu. Saat sampai di depan pintu kamar, lekas kusibak kain pintu dan mengetuk daun pintu penuh terus berteriak histeris.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang