Bagian 14

35 10 0
                                    

"Naya, Yasa, bangun!" Suara anak laki-laki kembali membangunkanku pagi ini.

"Hmm." Aku berdesah manja, menganggap itu suara Ibu.

"Hai, Laura. Kenapa kamu tidur memeluk Naya?" tanya suara itu lagi.

Aku lekas tersadar dengan keadaan, membuka mata dan segera duduk. Terlihat Adara menggoyang-goyangkan tubuh kecil Laura yang masih memeluk pinggangku.

"Apa yang kamu lakukan, Adara?" Aku menahan tangan Adara.

"Apa dia mengganggu tidurmu, Nay?"

"Tidak, biarkan saja, kamu tidak kasihan melihat wajahnya lelahnya itu?"

"Semua orang disini lelah dengan segala keadaan ini, Nay. Tapi ini jauh lebih baik dari pada hidup di kerajaan yang dengan penuh rasa takut setiap hari," ucap Adara, ia kemudian berdiri, "bangunkan Yasa, kita akan latihan bersama Paman Azel."

Adara kemudian keluar dari tenda. Aku memilih mengabaikan ucapan Adara. Menoleh ke wajah Laura yang tampak tenang dalam tidurnya. Tangan kanannya masih memeluk pinggangku. Aku tersenyum, pipi gembulnya mengingatkanku pada pipiku saat masih kecil dulu.

Kondisi di tenda itu terasa amat hangat, tidak sama dengan pagi kami saat masih di Tarmas, tempat bersalju kemarin. Aku lekas membangunkan Yasa hingga dia menggeliat lagi. Setelah Yasa membuka mata, aku melepaskan tangan Laura di pinggangku. Melihat sejenak anak-anak disana yang masih tertidur, kemudian aku keluar dari tenda.

Baru kusibak kain pintu tenda tempat tidur semalam, Reiga dan Adara sudah berdiri di depan pintunya. Aku mengembuskan nafas berat, sedikit kaget melihat mereka berdua yang sama-sama melihat ke arahku.

"Mana Yasa?" tanya Reiga.

"Dia baru bangun, sebentar juga keluar."

"Ya, udah. Adara, kamu tunggu Yasa keluar, biar aku dan Naya yang duluan ke lembah untuk latihan," ucap Reiga kepada Adara, lalu Ia menoleh kepadaku, "ayo, Nay!"

Tanpa banyak tanya, aku menurut dan mengikuti langkah Reiga. Kami berjalan menuju belakang area perkemahan. Beberapa prajurit terlihat masih berjaga dengan senjata lengkap mereka. Tenda-tenda di bagian belakang lumayan banyak. Aku tidak bisa berhitung berapa jumlahnya. Kami terus berjalan ke area belakang. Reiga meminta izin kepada prajurit yang berjaga di pagar belakang perkemahan. Salah seorang dari mereka memberikan kami obor untuk penerangan.

Berbekal cahaya obor, aku dan Reiga masuk ke hutan yang sangat lebat. Kami kemudian menuruni lembah yang terjal. Aku berkali-kali tergelincir, tanahnya sangat licin sekali karena lembab. Aku memperkirakan butuh waktu lima belas menit untuk kami sampai di bawah lembah. Berjalan lagi memasuki hutan, hingga kami mendengar suara aliran sungai.

Disana Paman Azel tengah berlatih ilmu beladiri berteman dengan nyala unggun kecil. Suasana disana sunyi, hanya aliran sungai yang terdengar. Sungai itu cukup lebar, tapi tidak selebar sungai tempat tenda kemarin. Di seberangnya juga terlihat hutan lebat. Langit terlihat masih terang oleh ribuan bintang yang menghiasinya. Entah pukul berapa sekarang, aku tidak bisa menebaknya sama sekali.

Pegangan Paman Azel di bahuku membuyarkan lamunanku memandang keadaan alam disana. "Langsung saja latihan, Naya. Kamu harus berlatih mengeluarkan api di tanganmu, semoga pagi ini ada kemajuan," tukas Paman Azel. Aku mengangguk dan kemudian kembali berlatih seperti sebelumnya.

"Semangat, Nay! memang butuh waktu lama untuk menguasai teknik dasarnya, tapi kamu pasti bisa." Reiga menyemangitku. Aku membalas ucapan Reiga dengan senyuman.

Di bawah bintang-bintang yang bersinar terang, aku memulai latihan pagi ini dengan konsentrasi penuh. Berusaha untuk fokus dengan energi di tubuhku sendiri. Mengumpulkannya di dada dan mengalirkannya ke telapak tanganku. Pagi ini aku harus berhasil, aku tidak boleh kalah dari Yasa yang sudah bisa mengendalikan bola air raksasa. Yasa dan Adara datang saat aku sudah memulai latihan.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang