Paman Dan melihat ikan koi yang hangus dengan mata menyelidik. Dia mengembuskan nafas berat, kemudian menatapku dengan teliti. Sementara aku sudah memeluk kaki Ibu, mengelap air mataku dengan rok coklat yang ibu kenakan. Aku benar-benar takut jika Paman Dan marah karena ikan putih itu mati saat aku memegangnya tadi.
"Aku lihat sendiri Naya membakar ikan itu, Yah?" Yasa menarik tangan Paman Dan, menunjuk ikan koi yang sudah gosong tersebut.
"Ibu ... hiks ...." Aku masih menangis tersedu-sedu, takut Paman Dan akan naik pitam, kemudian memakiku karena sudah membunuh ikan putihnya yang cantik itu.
"Udah, Sayang. Nggak apa-apa kok, Paman Dan nggak marah kok sama, Naya." Ibu duduk berjongkok, memelukku dengan erat. Lekas aku bersembunyi di dada Ibu, mengusap mataku berkali-kali ke baju yang Ibu kenakan.
"Ini bahaya, Kara. Jika kekuatan itu tidak bisa dikendalikan oleh, Naya, dia bisa membakar semua yang dipegangnya." Paman Dan dan Ibu saling tatap.
"Itu yang aku khawatirkan, Dan. Untuk itu aku memintamu ke sini, melatih Naya mengendalikan kekuatannya seperti kamu melatih Yasa."
Paman Dan menggeleng, ia memegang dagunya, melihat Ibu dengan wajah datar.
"Ini sulit, Kara. Aku tidak bisa melatih pengendali elemen api. Karena tekniknya jelas berbeda dengan teknik pengendali elemen air," jawab Paman Dan.
"Lalu solusinya bagaimana, Dan? Kasihan Naya, dia bisa tertekan karena tidak bisa mengendalikan kekuatan itu. Dia bisa menyalahkan dirinya sendiri saat melakukan kesalahan seperti membakar ikan ini."
Hanya hembusan nafas berat yang keluar dari mulut Paman Dan. Ibu juga mengembuskan nafas panjang, Ia seperti kecewa dengan Paman Dan.
"Seperti kataku di dalam tadi, Kara. Jika waktunya sudah tiba, kita akan bawa Naya dan Yasa ke dunia kita. Mereka bisa belajar mengendalikan kekuatan mereka disana." Paman Dan bersuara dengan bijak, menatapku dan Yasa secara bergantian.
***
Sejak Ibu membawaku ke rumah Paman Dan, aku dan Yasa semakin dekat. Ibu selalu membawaku ke sana. Dia berbicara serius dengan Paman Dan, sementara aku dan Yasa asyik bermain di halaman rumah. Entah apa yang dibicarakan Paman Dan dengan Ibu, aku tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengan Yasa, kami lebih memilih asyik bermain daripada terlibat pembahasan serius mereka
Saat makan malam di rumah, Ibu juga sering berbicara tentang keluarga Paman Dan kepada Ayah. Ternyata Ayah dan Paman Dan sudah saling kenal, mereka seperti teman lama yang terpisah karena Paman Dan selama ini tinggal di luar kota. Karena memang istri Paman Dan yang bernama Bibi Anjani bekerja di salah satu rumah sakit di daerah.
"Dan pindah ke kota ini, Bu?" tanya Ayah yang antusias saat ibu mengatakan bahwa tadi siang kami ke rumah Paman Dan.
"Iya, Yah. Baru seminggu ini. Ibu dan Naya sudah tiga kali ke rumahnya," jawab Ibu yang tengah mengisi piring Ayah dengan ayam gulai kesukaannya.
"Tiga kali? Kok Ibu baru cerita?"
"Ayah kan sibuk, jadi Ibu baru ceritanya sekarang. Saat Ayah lagi senggang gini dan tidak mikirin laporan kantor, cerita tentang teman lama jauh lebih asyik, kan?"
Ayah tersenyum, menatap Ibu dengan mengangguk pelan.
"Kapan-kapan kita ajak liburan bareng Dan sama istrinya, Bu. Ke kebun binatang atau taman bermain. Pasti menyenangkan bermain bersama mereka." Ayah memberi usul seraya mulai menikmati makan malamnya.
Ibu mengangguk pelan, setuju dengan usul Ayah. Sekarang Ia sudah beralih ke piringku, mengisi nasi dan hati ayam kesukaanku untuk makan malam hari ini.
"Anak Dan ternyata sebesar Naya lho, Yah. Namanya Yasa, nggak nyangka Ibu saat melihatnya, rupanya sudah sebesar Naya saja sekarang." Ibu sudah selesai mengisi piringku, dia sudah duduk di sampingku, mengusap rambutku yang dikucir seperti ekor kuda, "habisin ya, Sayang," ucap Ibu yang kubalas dengan anggukan dan senyum senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...