Bagian 27

26 10 0
                                    

Tidak terlalu lama kami beristirahat, setelah selesai makan siang, kami langsung bergerak menuju Desa Azaran. Kami tidak lagi melewati semak belukar dan pepohonan tinggi, melainkan padang rumput luas yang terlihat sejauh mata memandang. Sepanjang jalan hanya terlihat hijaunya rerumputan dengan perbukitan berbatu di sekeliling kami. Perjalanan kami berjalan lancar, kami tidak bertemu lagi dengan rombongan kerajaan yang berjalan menuju selatan kemarin malam.

Sore ini aku tidak akan latihan, kami harus sampai di Desa Azaran sebelum malam. Agar bisa bertemu dengan pimpinan desa. Selama perjalanan, kami tidak melihat orang lain sama sekali. Benar kata Adara saat memutuskan kami melewati Lembah Berus, memilih rute ini membuat kami bisa menghindari pemukiman penduduk, pengembala dan pengelana. Memang inilah yang harus dilakukan oleh pemberontak, menghindar dari keramaian agar tidak terdeteksi oleh prajurit kerajaan.

Sebenarnya aku tidak terima disebut pemberontak, tapi itulah yang dikatakan Paman Azel, kami adalah pemberontak di mata kerajaan. Misi diplomasi ini adalah mencari sekutu untuk memberontak dan menggulingkan sang raja yang berkuasa di tanah Armadya. Ibu mengirimku berlatih dengan kelompok pemberontak. Rasanya ini tidak dapat kupercaya sama sekali.

Langit mulai menguning, cahaya terik matahari terasa berkurang, kami sudah berjalan beratus-ratus kilometer dari Kelden. Sebentar lagi akan sampai di tujuan, Desa Azaran. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam di tengah padang rumput luas ini, aku dapat melihat perbukitan hijau jauh di depan sana. Bukan perbukitan batu seperti di tempat istirahat tadi.

"Aku baru melihat padang rumput seluas ini, Adara. Harsa benar-benar luar biasa, di Bumi tidak akan ada padang rumput yang luas seperti ini," bisikku ke telinga Adara.

"Disini dulu ada gunung besar dan tinggi, Nay, tapi hancur oleh senjata dari dunia Vida. Dulu ada senjata dari sana yang bisa menghancurkan gunung dalam waktu cepat, gunung besar itu melebur, longsor dan menimbun kota besar yang ada di sekitarnya. Mungkin jauh dibawah tanah sana ada puing-puing kota yang tertimbun longsoran gunung itu. Butuh waktu beratus-ratus tahun rumput-rumput ini menghijau setelah menjadi lahan tandus akibat kejadian mengerikan itu."

Aku mendengarkan penjelasan Adara dengan takzim.

"Ini menurut cerita leluhur aja, Nay. Apa senjata itu benar ada atau tidak, aku tidak tahu pasti. Dulu di padang rumput ini juga pernah terjadi pertempuran antara Kerajaan kita dengan kerajaan Armadanta, saat itu kita menang dan Raja Elson dielu-elukan oleh semua orang. Masyarakat Krupa bahkan memujinya, karena sejak Armadya menguasai daerah ini, Raja Elson bersikap adil dalam banyak hal, terutama pajak, ekonomi dan hukum. Mungkin kejadiannya sekitar 40 atau 50 tahun yang lalu, Nay," lanjut Adara menjelaskan.

Cerita Adara persis sama dengan cerita Gyula dan Lajos tentang senjata mengerikan itu. Apa senjata itu benar-benar ada? Kejam orang-orang yang melakukan itu, menimbun satu kota dengan semua penduduknya di bawah tanah tempat kuda-kuda kami berlari sekarang.

"Dia pasti raja yang dicintai banyak orang ya?" tanyaku.

"Begitulah, tapi sekarang dia adalah simbol pengkhianatan atas perdamaian 800 tahun lalu. Andai perjanjian itu tidak ada dan teknologi kembali dikembangkan, mungkin Harsa akan punya benda terbang juga, Nay. Mirip burung seperti yang kamu ceritakan tentang benda terbang di Bumi." Adara menjeda sejenak kalimatnya.

"Sepertinya kita sudah hampir dekat dengan pemukiman, Nay," ucap Adara, kami melihat ada beberapa pengembala domba di depan sana.

"Akhirnya kita sampai juga di Desa Azara," ucapku mengembuskan nafas lega.

Eh, tapi Adara malah terkekeh, aku mengernyitkan dahi karena heran, dia kenapa?

"Ini bukan Desa Azaran, Naya. Masih ada beberapa desa lagi untuk sampai ke sana, aku memang belum pernah ke desa itu, tapi aku cukup tahu desa-desa yang ada disini." Adara menjelaskan.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang