Bagian 18

28 8 0
                                    

"Apa kita tidak istirahat dulu malam ini, Tuan Azel?" tanya Lajos kepada Paman Azel. Paman Azel sudah mengatakan bahwa kami akan melanjutkan perjalanan ke Krupa selesai makan malam.

"Tidak, Lajos. Waktu kita terbatas, kita akan tetap melanjutkan perjalanan malam ini. Nanti kita istirahat saat tengah malam saja," tukas Paman Azel.

Gyula dan Lajos mengangguk, patuh kepada perintah Paman Azel. Aku mengusap tengkukku yang terbuka karena rambutku dikucir seperti biasa. Rasanya lelah sekali setelah kemarin duduk di punggung si putih dari Tarmas ke Kelden. Sekarang aku masih harus berada di punggung si putih menuju Krupa. Istirahat pun hanya sebentar untuk makan.

Ah, aku tidak mau memikirkan hal itu, lebih baik aku menikmati daging rusa yang harum. Dagingnya lembut dan nikmat. Bumbu yang digunakan membuat seleraku tergugah untuk segera menghabiskannya. Ini kali pertama untukku memakan daging rusa.

Selesai makan malam, kami beristirahat sejenak sebelum berangkat. Aku istirahat di dekat si putih yang tengah memakan rumput hijau. Mengelus kepalanya yang lembut. Jika beruang putihku di kamar itu hidup, aku pasti akan senang sekali. Bisa mengelus kepalanya, dan dia bersikap manja seperti si putih sekarang. Tapi sayangnya beruang putih yang aslinya itu buas. Tinggal jauh di kutub utara.

"Kamu menyukai kuda, Naya?" Suara Lajos tiba-tiba mengagetkanku.

"Aku suka dengan sikap manjanya, Lajos."

"Banyak orang menyukai kuda-kuda ini, Naya. Mereka ini bukan kuda sembarangan. Hasil kawin silang kuda pelari tangguh dari timur dengan kuda kekar dari utara. Dulu sebelum terjadi kudeta, kuda-kuda ini dirawat langsung oleh Panglima Arshal, jenderal besar kami di kerajaan, tapi sekarang dia tidak bersama kami lagi," ungkap Lajos emosional.

"Apa dia gugur saat kudeta 12 tahun lalu, Lajos?" tanyaku yang penasaran.

"Dia berkhianat, Naya." Lajos bergumam pelan.

Aku menoleh, melihatnya dengan dahi bekerut.

"Kamu tahu dia siapa Panglima Arshal, Naya?" mata Lajos tampak berkaca-kaca, aku menggeleng, mana mungkin aku tahu siapa dia, namanya saja baru aku dengar sekarang, "dia pengendali udara, ayahnya Adara."

"Ayah Adara pengkhianat, Lajos?" Yasa entah sejak kapan berada di dekat kami bergumam kaget, "dia mengkhianati Ratu Meera?" tanya Yasa menuntut penjelasan.

"Sstt! jangan keras-keras, Yasa. Nanti yang lain dengar." Lajos memperingatkan Yasa seraya menaruh telunjuknya di depan mulut.

"Kenapa dia bisa berkhianat, Lajos?" Aku juga ikut menuntut penjelasan.

Lajos tersenyum getir, "Tidak ada alasan berkhianat selain harta dan jabatan, Naya. Adara tumbuh dengan beban besar agar bisa lebih kuat dari Panglima Arshal, agar bisa mengalahkannya dan mengembalikan Ratu Meera serta Pangeran Sena ke tahta kerajaan."

"Itu beban berat untuk Adara, Lajos. Dia pasti tertekan dengan beban itu," tutur Yasa.

"Tapi itulah hidup Adara, Naya, Yasa. Pangeran Sena tumbuh dengan beban besar untuk merebut kembali tahta ayahnya, Adara juga sama," jelas Lajos dengan singkat.

Aku terdiam, semua yang kutemui di Harsa benar-benar berbeda dengan kehidupan kami di Bumi. Anak-anak disini tumbuh dengan beban besar di pundak mereka. Laura, Adara dan juga Pangeran Sena. Mungkin beban ini selalu dimiliki oleh anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam keadaan perang seperti yang terjadi di Harsa sekarang.

"Hei, kalian! bersiap-siaplah, kita akan segera berangkat!" Gyula yang sedari tadi menyiapkan obor dengan Adara dan Reiga di dekat api unggun berteriak mengingatkan kami.

Pembicaraan singkat kami selesai, aku segera bersiap-siap. Tak lama kemudian kami meninggalkan telaga dengan mematikan unggun terlebih dahulu. Si putih kembali berlari kencang menuju barat daya. Aku memegang obor, untuk penerangan. Kami melewati padang rumput luas berjam-jam lamanya. Malam semakin larut, langit cerah dengan bintang gemintang menerangi perjalan kami.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang