Bagian 6

62 14 0
                                    

Aku masuk ke dalam kamar mandi kecil di rumah kayu tersebut. Sedikit berbeda dengan rumah utama, walaupun terlihat sederhana, kamar mandi itu memiliki wastafel tua yang sudah berkarat. Aku menengadah, melihat ke atas. Ada atap putih bening yang membuat cahaya matahari masuk dari sana, tidak terlalu terang karena di tutupi pohon besar di belakang rumah kecil itu. Tapi cukup menerangi keadaan di dalam kamar mandi.

Lantai kamar mandi ini berkeramik putih, berwarna kecokelatan, seperti tidak terawat. Bak air juga tidak air, hanya sebuah ember hitam setinggi dadaku yang airnya hampir penuh. Ada gayung berwarna biru yang sudah kehitaman di ember itu. Di wastafel juga ada kran air. Aku mencoba membukanya, air jernih mengalir dari kran itu. Aku mencuci wajah sejenak, membilas air di wajahku, sejuk sekali rasanya. Kemudian aku mematut diri di depan cermin wastafel yang sedikit buram.

Aku tidak ingin membuang waktu lagi, lekas aku berganti baju dengan pakaian yang tadi diberikan Paman Dan. Sebuah pakaian hitam terusan sampai ke mata kaki dan kupluknya yang bisa kugunakan untuk menutupi kepala. Kainnya tebal dan hangat, namun terasa ringan di badan. Kain ini seperti terbuat dari benang wol, tapi tidak juga, kain wol mana mungkin seringan ini.

Pakaian ini juga tidak sempit, seukuran dengan badanku yang kecil. Pergerakan tubuhku juga terasa leluasa, membuatku nyaman memakainya. Aku mematut diri lagi di depan cermin, kemudian tertawa melihat penampilanku sendiri. Aku sekarang malah mirip dengan penyihir yang sering kubayangkan saat membaca buku-buku di kamar. Mirip sekali dengan ilustrasi penyihir dari buku bergambar yang pernah kubaca. Bahkan juga mirip dengan penyihir yang kugambar di buku gambar. Dengan tongkat dan sapu, aku sudah bisa menjadi penyihir. Aku tertawa membayangkannya.

Lekas kubuang pikiran itu, lalu tersenyum melihat penampilanku sendiri. Kemudian aku lekas keluar dari kamar mandi, Ibu dan Paman Dan terlihat tengah berbicara serius lagi. Yasa memperhatikan mereka, dia juga menggunakan pakaian yang sama sepertiku. Aku mendekat kepada mereka dan langsung berdiri di samping Ibu.

"Kamu sudah siap, Naya?" tanya Paman Dan yang menyadari kedatanganku.

Aku menganggung menjawabnya, tak bersuara seperti biasa.

"Ok, Naya, Yasa. Dengarkan ini baik-baik." Paman Dan terlihat sangat serius sekali mengatakannya, "kalian akan pergi ke balik pintu itu." Paman Dan menunjuk pintu yang tepat berada di samping lemari tua tempatnya mengambil pakaian yang kukenakan sekarang.

"Di balik sana ada dunia yang namanya Harsa. Tempat kita sebenarnya berasal, kita bukan manusia Bumi, Nak. Tapi manusia Harsa, kakek dan nenek kalian yang dulu membawaku dan Kara ke Bumi untuk menyelamatkan kehidupan kami, terutama kehidupan Kara saat itu."

Mataku beralih melihat Ibu, menatapnya menuntut penjelasan. Ibu menggigit bibir, Ia gugup membalas tatapan mataku.

"Ceritanya panjang, Naya, Yasa. Kalian akan kutitipkan kepada Azel untuk melatih kalian disana. Dia temanku dan Kara saat kami masih kecil di Harsa dulu, sebelum kakek dan nenek kalian membawa kami ke Bumi." Paman Dan melanjutkan penjelasannya.

Kaki Yasa menyenggol kakiku, membuatku menoleh kepadanya. Matanya melihatku seperti orang linglung. Ah, aku sama bingungnya dengan Yasa, yang bisa kulakukan hanya mengangkat bahu, mau menjelaskan apa coba? aku saja sampai sekarang tidak mengerti apapun tentang ini semua. Yasa berdesah, terlihat sebal dengan sikapku ini.

"Kenapa kami harus ke sana, Yah? Hidup kami baik-baik saja di sini." Yasa mencoba bertanya.

"Naya, Yas. Kekuatan Naya tidak stabil, itu membahayakan dirinya, dan juga orang-orang yang ada di sekitarnya," jelas Paman Dan.

Yasa sontak melihat kepadaku, matanya menyipit menuntut penjelasanku lagi.

"Kamu punya kekuatan apa, Nay? Kenapa kamu tidak pernah cerita kepadaku?" tanya Yasa menyelidik, ini untu kedua kalinya Yasa bertanya tentang kekuatan yang kumiliki.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang