Bagian 12

39 9 0
                                    

Setelah sarapan pagi, kami bersiap-siap untuk berangkat ke Kelden. Barang-barang sudah selesai dikemas dan diikat di punggung kuda. Si coklat membawa banyak barang, sementara si putih dan si hitam hanya membawa sedikit. Aku dan Yasa memperhatikan Paman Azel, Adara dan Reiga yang sedang sibuk merapikan pelana kuda.

Matahari sudah cerah menerangi hari, suara aliran sungai serta kesiur angin dingin menemani kami. Salju masih memutih di sepanjang penglihatan, di dedaunan, pohon, tanah hingga aliran sungai, salju masih menggumpal. Aku menghirup nafas panjang dan melepaskannya. Kemudian aku an Yasa mendekat kepada Paman Azel.

"Kalian boleh pilih naik kuda yang mana, yang penting jangan kuda cokelat ini, dia sudah terlalu banyak membawa barang," tutur Paman Azel yang sibuk menguatkan tali-tali di tubuh si coklat.

"Kami tidak bisa menunggang kuda, Paman. Gimana caranya kami bisa naik kuda?" jawab Yasa.

Paman Azel terkekeh seperti biasa, sepertinya itu adalah kebiasaan Paman Azel yang harus kupahami. "Siapa suruh kamu yang membawa kudanya, Yasa. Kalian silahkan pilih kudanya, nanti Adara dan Reiga yang akan membawanya," jelas Paman Azel.

"Aku naik si putih, Paman." Aku langsung menyambar ucapan Paman Azel dan kemudian berlari ke arah si putih yang tengah di persiapkan oleh Adara.

Aku takut jika Yasa mendahuluiku memilih kuda itu. Melihat si putih mengingatkanku kepada boneka beruang putih di kamar.

"Hei, Naya! Itu tidak adil!" Yasa memprotes, aku berbalik badan, sejenak melihatnya yang memasang wajah kesal dan berkacak pinggang melihatku. Aku mencibirnya, kemudian berdiri di samping Adara. Yasa lekas berlari menghampiri si hitam dan Reiga.

Mataku beralih kepada Adara yang masih sibuk mengeratkan tali-tali di tubuh si putih, serta merapikan pelananya. Barang di tubuh putih tidak terlalu banyak, sehingga Adara tidak sesibuk Paman Azel merapikan si cokelat. Setelah memastikan tali-tali di tubuh kuda putihnya kuat, Adara lekas naik ke si putih lalu melihatku.

"Kamu bisa naik sendiri, Naya?" tanya Adara.

Aku menelan ludah memperhatikannya, gimana cara naik si putih coba? Aku belum pernah naik kuda sebelum ini. Lalu tiba-tiba saja Adara mengulurkan tangannya kepadaku.

"Taruh kaki kirimu di sini." Adara menggerakkan kakinya di sanggurdi pelana si putih.

Sekarang aku malah ragu untuk naik atau tidak. Masa aku satu kuda dengan Adara, yang benar saja? ini benar-benar tidak kuinginkan sama sekali. Tiba-tiba saja derap kaki kuda mendekat kepada kami. Aku dan Adara menoleh, Yasa sudah naik ke punggung si hitam bersama Reiga.

"Kamu mau ditinggal disini, Naya. Kita harus segera berangkat," tegur Reiga kepadaku.

Aku memandang mereka berdua dengan bimbang, Yasa tiba-tiba saja membalas cibiranku tadi. "Udah, Adara, tinggalkan aja dia sendiri disini." Yasa menatapku dengan usil, aku mendengus sebal kepadanya. Tapi Reiga sudah menarik tali kekang dan si hitam bergerak mengikuti Paman Azel yang sudah pergi duluan.

"Ayo, Nay!" ucap Adara mengingatkanku.

Angin dingin yang bertiup pelan menyadarkanku, aku menoleh kepada Adara yang mengulurkan tangannya. Tidak ada pilihan lain, aku harus bisa seberani Yasa untuk menaiki kuda. Aku menerima uluran tangan Adara dan menaruh kakiku di sanggurdi pelana kuda. Dalam satu lompatan aku sudah berada di atas punggung si putih.

"Eh, Adara! kudanya bergerak!" Aku berteriak kaget karena si putih tiba-tiba bergerak. Lekas kupegang pakaian hitam Adara dengan kuat karena takut terjatuh.

"Kamu duduknya tenang saja, Nay," ucap Adara, "jangan banyak bergerak, ikuti saja irama tubuh kuda ini."

Adara mulai menarik tali pelana, menggantikan kakiku dengan kakinya di sanggurdi. Kemudian si putih berjalan pelan dengan tenang. Aku akhirnya mengembuskan nafas lega. Ini pengalaman pertamaku naik kuda, rasanya tidak buruk-buruk amat.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang