Matahari mulai menampakkan dirinya di ufuk timur, cahaya hangatnya menyapa dunia Harsa. Menerangi tempat kami beristirahat sejak semalam. Aku menoleh ke sekitar, jelaslah sekarang seperti apa topografi tempat ini. Di sekitarku terlihat hutan yang tidak terlalu lebat. Semak belukar tampak rimbun di perbukitan yang tidak terlalu tinggi.
Ternyata tidak hanya satu telaga kecil yang di dekat kami. Ada juga beberapa telaga seperti kubangan. Jarak antara satu dengan yang lain tidak terlalu berjauhan. Mungkin ada hewan yang biasa berkubang di telaga-telaga ini, kerbau liar mungkin.
Aku berbalik badan melihat salah satu sisi hutan, Reiga terlihat muram membawa kayu untuk api unggun. Aku tertawa kecil memandangnya, selama perjalanan ini, Reiga memang sering berwajah masam, apalagi jika dia sudah kesal kepada Yasa yang sering menyolot dan bersikap menyebalkan. Aku kembali fokus dengan daging burung yang tengah kubersihkan dengan bantuan air dari kekuatan Yasa.
Ada empat ekor burung yang berhasil ditangkap Adara, Reiga dan Gyula. Cukup untuk makan kami berenam pagi ini. Setelah selesai membersihkan daging burung, aku segera menancapkan kayu runcing sebagai alat bantu untuk membakarnya. Sekaligus mengolesi bubuk yang selalu digunakan Paman Azel setiap membakar daging.
"Tanganmu masih sakit, Nay?" tanya Reiga yang tengah menambah kayu bakar di api unggun.
"Sakit? sakit kenapa?" Adara memandangku dengan mata menyipit penuh selidik.
"Oh, itu ...." Aku gugup melihat mata Adara. Aduh! Reiga ini ada-ada saja, ngapain menanyakan hal itu saat kami lagi duduk bersama seperti ini coba?
"Kamu semalam terluka, Nay?" Suara Paman Azel sedikit menekan.
Aku menelan ludah, Yasa, Paman Azel, Adara dan Gyula melihatku menuntut penjelasan. Aku berdesah, ini menyebalkan sekali.
"Sudah mendingan kok, Reiga," Aku menjawab dengan singkat, kembali fokus dengan daging yang tengah kuolesi dengan bubuk bumbu.
Tiba-tiba saja Adara mendekat, menarik pakaian hitamku yang sobek oleh pedang prajurit semalam. "Ihh, apaan sih kamu?" Aku yang kaget lantas menepis tangannya, mendorong Adara untuk menjauh dariku.
"Kamu sudah memeriksanya lagi, Reiga?" tanya Adara.
"Belum, biar kuperiksa sebentar." Giliran Reiga yang mendekat, sementara Adara beranjak, memberi ruang untuk Reiga memeriksaku.
"Aku baik-baik saja, Reiga. Kan sudah kamu obati semalam," tolakku dengan ketus saat Reiga menarik tanganku yang terluka.
"Biar aku lihat dulu, Nay. Nanti bisa luka lagi jika pengobatanku yang semalam tidak sempurna menutup lukanya."
"Biarkan diperiksa dulu oleh Reiga, Naya. Aku tidak ingin mengembalikanmu dalam keadaan luka saat kita kembali ke Tarmas," ucap Paman Azel dengan tegas
Kali ini aku harus menurut, aku tidak bisa menentang apa yang diperintahkan Paman Azel. Reiga menarik lengan panjang pakaian hitamku hingga ke bahu. Tampaklah tangan putihku yang mulus, hmm ... tidak terlalu mulus sih, ada bekas hitam karena luka semalam.
Reiga memeriksa bekas luka itu, dia memegangnya dengan pelan. Aku ikut melihat, warna hitamnya sudah berubah kecoklatan. Sakitnya juga sudah hilang, ini sudah sembuh, tinggal menunggu kulitku kembali putih seperti semula. Ah, tapi lihatlah, Adara cemas melihat luka ini. Yasa juga resah, mungkin dia khawatir jika aku terluka parah.
"Ini hanya goresan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," tutur Reiga.
"Kamu yakin, Reiga?" Adara menunjuk bekas lukaku, "kamu nggak lihat lengan dia kecil begitu, apa lukanya sampai ke tulang?"
"Hei, jangan mentang-mentang tubuhmu besar, seenak saja mengatai lenganku kecil," sentakku yang tidak terima dengan perkataan Adara barusan.
Adara seketika melihatku dengan wajah penuh kebingungan. Sementara Yasa yang tadi gelisah sekarang senyum-senyum tak jelas karena tingkahku. Dan parahnya lagi, Reiga malah terbahak-bahak seraya menutup mulutnya. Ah, sial! Aku mendengus dengan kesal. Kudorong tubuh Reiga dengan keras dan kututup lagi lengan kananku yang terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...