Perjalanan panjang kami kembali dilanjutkan. Setelah menuruni perbukitan tinggi dari Kelden, kami sekarang berjalan menyusuri daerah yang lumayan datar. Si putih tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk membawaku dan Adara. Cerita Gyula dan Lajos membebaniku, berat sekali untuk memahami, apa benar dunia yang tampak hidup di zaman kuno ini pernah memiliki teknologi tinggi? seperti mustahil saja.
Lalu apa maksudnya alam murka? bencana besar yang membuat teknologi tinggi hancur. Apa itu gempa besar? Gunung meletus, atau tsunami? Atau hujan meteor? Jika benar Harsa dan Bumi adalah planet yang berbeda, apa itu alasannya aku tidak melihat bulan dua malam ini. Planet ini tidak punya satelit seperti Bumi yang memiliki Bulan. Semuanya terlalu berat untuk dipikirkan, aku menyandarkan kepala ke punggung Adara dengan lemah.
Si putih berlari kencang, si hitam dan si cokelat pun juga. Kuda Gyula berwarna kemerahan dan kuda Lajos berwarna hitam juga berlari kencang. Perjalan kami masih lancar, tidak ada yang mengganggu. Semoga akan selalu seperti ini sampai nanti kami sampai di Krupa.
Saat sore berganti senja, kami memasuki padang rumput luas, meninggalkan hutan tinggi dan lebat di perbukitan daerah Kelden. Mungkin sudah ratusan kilometer kami meninggalkan Kelden. Meninggal Laura di sana yang mungkin sekarang harus hidup kesepian tanpa teman dan selalu dikucilkan. Saat langit memerah, kami berhenti di tepian telaga yang ada di tengah padang rumput. Tibalah saatnya untukku berlatih lagi.
"Kamu istirahat dulu, Nay. Jangan terlalu dipaksakan untuk mengeluarkan kekuatanmu," tutur Adara saat aku sudah turun dari si putih.
Sejenak aku memandang wajah Adara yang tampak tenang. Dia tidak kelelahan sama sekali, padahal dialah yang membawa kuda. Aku yang hanya duduk di belakangnya merasa kelelahan. Lalu kenapa dia masih tampak segar seperti itu? Ah, atau itu perasaanku saja?
"Adara, apa pengendali api itu adalah keturunan istimewa?" tanyaku kepada Adara.
Kepala Adara berputar, melihat Gyula dan Lajos yang tengah mengikat kuda mereka pada pohon yang ada di tengah padang rumput luas ini. Kuda-kuda mereka terlihat senang memakan rumput yang menghijau.
"Istimewa karena langka, Nay," jawab Adara yang telah melihat lagi kepadaku.
"Apa pengendali udara tidak istimewa, Adara?" aku lanjut bertanya.
"Tidak ada yang istimewa, Naya, baik pengendali api atau udara, mereka sama-sama punya kelebihan dan kekurangan. Langkanya pengendali api menjadikan mereka sedikit istimewa dari yang lain. Tapi kenyataan sebenarnya jauh lebih buruk lagi, pengendali elemen kehidupan seperti kitalah yang membuat alam marah dan menghancurkan semuanya."
"Oh, ya? bukannya itu cuma dongeng? tidak nyata sama sekali," lanjutku menyelidik.
"Jika pengendali elemen kehidupan ada, apa semua cerita itu bisa disebut dongeng, Nay? Apa lorong ke Bumi itu juga dongeng bagimu? Lalu kenapa kamu bisa memiliki kekuatan api dan bisa sampai disini dari Bumi melalui lorong itu. Apa dengan kenyataan itu semua teknologi canggih di masa lalu itu bisa dikatakan dongeng?"
"Apa itu berarti ada dunia lain selain Bumi?" tanyaku lagi yang masih penasaran.
"Apa di Bumi ada benda terbang, bulat dan pipih? Aku sudah pernah cerita kemarin bahwa aku pernah melihat benda terbang itu, kan?" Adara balik bertanya. Jawaban Adara memberiku sedikit gambaran akan cerita panjang Gyula dan Lajos di sungai tadi. Itu berarti ada yang membuka pintu ke Vida dan piring terbang itu berasal dari sana.
"Jangan terlalu banyak ikut campur masalah di Harsa, Naya." Yasa tiba-tiba memegang bahuku, "kita ke sini hanya untuk berlatih dengan Paman Azel, biarkan orang-orang di Harsa yang mengurus masalah mereka sendiri."
Aku mengembuskan nafas berat. Benar kata Yasa, aku terlalu penasaran dengan alasan kakek dan nenek kami migrasi ke Bumi. Serta tentang lorong ke Bumi yang menarik untuk dibahas. Membuat koneksi dengan cahaya matahari di Harsa dan di Bumi. Itu benar-benar membuatku penasaran. Adara mengangkat kedua bahunya, kemudian pergi meninggalkanku dan Yasa.
"Udah, Naya. Jangan dipikirkan lagi, fokus saja sama urusan kita. Jika kamu penasaran dengan cerita Gyula dan Lajos tadi, aku juga penasaran. Tapi kita harus tahu diri siapa kita di Harsa ini, Nay," tutur Yasa.
"Iya, Yas. Kamu benar, ayo kita latihan, sebentar lagi matahari terbenam," jawabku.
***
Latihan kami dimulai, tugasku masih sama, mengeluarkan bola api. Aku bersila, melihat ke arah telaga yang tidak terlalu luas. Memejamkan mata, merasakan aliran energi di tubuhku yang berkumpul di dada. Mengalirkannya ke telapak tangan. Kegiatan ini sungguh membosankan, karena aku tetap saja tidak bisa membuat bola api seperti di Tarmas kemarin.
Berkali-kali aku mencoba, tetap saja gagal. Aku benar-benar bosan dengan ini semua. Kenapa Paman Azel tidak mengajarkan hal lain saja? Setidaknya jangan menyuruhku melakukan ini lagi. Aku sudah mencobanya dua hari ini, tetap saja tidak ada hasilnya.
Keringatku sudah mengucur deras, membasahi pakaian hitam yang kukenakan. Aku ingat, aku tidak pernah mandi sama sekali sejak sampai ke Harsa. Aku menoleh ke telaga di depanku, airnya jernih. Pasti asyik berenang di dalamnya. Tapi masalahnya aku tidak punya pakaian ganti. Ah, ini benar-benar menyebalkan. Latihanku selalu gagal, tidak ada hasil, mandi pun juga tidak bisa.
Aku menoleh kepada Yasa yang sekarang tengah berlatih, bertarung dengan Reiga di bawah pengawasan Paman Azel. Yasa terlihat menyerang Reiga dengan bola air dan pukulan airnya. Reiga bertahan dengan tombaknya, sesekali dia membuat tameng berwarna hitam dengan tangan kanannya. Itu hebat sekali, Reiga hanya meninju ke arah Yasa dan tameng itu muncul melindunginya. Melihat Yasa membuatku iri, dia sudah berkembang samgat pesat.
Di sisi lain, Adara melatih kemampuan bertarungnya dengan Gyula dan Lajos. Mereka beradu pedang, memecahkan kesunyian kami di tengah sahutan suara burung. Aku ingat ucapan Pangeran Sena saat di perkemahan tadi. Adara calon jenderal di masa depan, dia memang harus berlatih keras mulai sekarang.
Aku melihat kepada Paman Azel yang sekarang mempelototiku. Aku mendengus, lelah dengan ini semua. Disaat semua orang terus berlatih dan menunjukkan kemajuan mereka, aku membuat bola api saja tidak bisa. Apa yang salah coba? Aku tidak mempedulikan lagi tatapan Paman Azel.
Akhirnya, sebelum makan malam, Paman Azel mengajakku berbicara berdua. Kami duduk di tepi telaga, sementara yang lain sibuk membersihkan daging rusa yang mereka buru di tengah padang rumput luas. Aku melempar batu ke tengah telaga, sementara Paman Azel duduk di sampingku, bersandar dengan kedua tangannya.
"Kamu kenapa, Naya?" tanya Paman Azel membuka pembicaraan kami.
"Aku capek, Paman."
"Capek, Nay?"
Aku mengangguk dan Paman Azel terkekeh seperti biasa. Dia benar-benar menyebalkan sekarang. Paman Azel menengadahkan telapak tangannya ke langit, gelombang petir kecil terlihat disana.
"Aku menguasai kemampuan petirku setelah bertahun-tahun berlatih. Saat Kara bersama Dan pergi ke Bumi, aku sama sekali tidak menguasai kemampuan ini, Nay. Kamu baru berlatih dua hari, tapi sudah mengatakan capek, ini benar-benar mengecewakan, Naya."
"Paman tidak lihat bagaimana, Yasa? dia berkembang cepat. Sementara aku ...."
"Naya ...." Paman Azel memotong kalimatku, "Yasa sudah berlatih lama dengan Dan, dia sudah menguasai kemampuannya itu, tapi kamu tidak, Kara tidak menguasai teknik pengendali api, itu karena kakekmu menikah dengan orang biasa. Ada kemungkinan gen api di tubuh ibumu tidak berkembang, tapi di dalam dirimu gen itu berkembang."
Aku melihat Paman Azel dengan datar. Sementara dia mengelus lembut rambutku.
"Kamu harus bisa menguasainya, Naya. Karena mungkin beberapa tahun lagi tubuh Kara akan mengalami masalah besar."
"Masalah besar, Paman? Masalah apa yang mengancam ibuku?" Aku kaget mendengarnya, kupegang tangan Paman Azel, memintanya menjelaskan itu semua.
"Naya," Paman Azel tampak gusar, "pengendali elemen kehidupan hanya bisa menikah dengan sesama pengendali elemen kehidupan, karena gen mereka tidak bisa bercampur dengan manusia biasa. Jika tatanan itu dilanggar, maka dampaknya pasti ada. Termasuk kepada Ibumu. Sekarang kamu harus bisa mengendalikan kekuatanmu dulu. itu akan jauh lebih baik untukmu, Nay." Paman Azel menjeda kalimatnya, kemudian berdiri.
"Ayo, Naya. kita ke unggun, makan malam dan segera melanjutkan perjalanan."
Aku menurut, berdiri dan bergabung dengan yang lain. Aku ingin bertanya lebih tentang penjelasan Paman Azel. Tapi entahlah, sikap pendiamku masih terasa, tak enak terlalu cerewet bertanya kepadanya. Apalagi latihanku hasilnya nol besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...