Bagian 24

26 8 0
                                    

Aku dan Adara sesekali berbicara tentang Bumi selama perjalanan. Semakin lama, rasanya semakin senang berbicara dengan Adara. Dia banyak bertanya dengan kuda di Bumi. Aku hanya menjelaskan kuda tidak lagi menjadi alat transportasi utama. Sekedar untuk olahraga, hiburan, dan juga digunakan untuk perlombaan. Aku menjelaskan tentang mobil, motor, sepeda, hingga kereta dan pesawat terbang. Adara antusias menanggapi ceritaku.

"Itu luar biasa sekali, Naya. Sama dengan dongeng-dongeng tentang Harsa sebelum kejadian 800 tahun lalu." Adara berseru, setengah berteriak agar terdengar olehku.

"Tapi apa yang ada di Bumi bukan dongeng, benar-benar ada," balasku juga berteriak

"Iya, aku percaya. Jika kamu mengizinkan, apa aku bisa ke Bumi juga, Nay? Mungkin aku bisa menginap di rumahmu untuk beberapa hari."

Aku terkekeh mendengarnya, "Kamu tidak akan diizinkan ibu dan ayahku untuk tinggal di rumah kami."

"Kenapa? Aku sudah menunggang si putih untukmu beberapa hari ini, aku juga mencari ikan dan menangkap rusa untuk makanmu, aku juga yang mencari air minum untukmu di hutan. Aku yang memasak air hangat untukmu saat di Tarmas. Kamu sudah seharusnya membayar itu semua, Naya."

"Hei!" Aku jengkel dengan ucapan Adara barusan, "kamu tidak ikhlas melakukan itu semua untukku? kamu itu laki-laki, jangan pamrih sama perempuan." Apa di Harsa sama dengan di Bumi? tidak ada makan siang yang gratis.

Sekarang malah Adara yang terkekeh, dia menambah kecepatan si putih, dan kami semakin jauh meninggalkan tempat peristirahatan tadi. Aku menoleh lagi kepada yang lain. Paman Azel masih fokus ke depan, mengangkat obornya tinggi-tinggi untuk menerangi jalan. Yasa juga masih terlihat berdebat serius dengan Reiga yang membawa si hitam. Aku melirik kepada Gyula dan Lajos, wajah mereka terlihat datar, fokus dengan jalan.

Tiba-tiba saja si cokelat meringkik keras. Aku menoleh, Paman Azel menarik tali kekangnya agar si cokelat berhenti. Membuat kaki depan si cokelat menendang-nendang ke udara. Tiba-tiba saja Adara juga melakukan hal serupa, si putih meringkik dan mengangkat kaki depannya ke udara. Oborku terjatuh karena tanganku refleks memegang baju hitam Adara. Si hitam serta kuda Lajos dan Gyula juga sama. Bahkan obor yang di pegang Yasa juga ikut jatuh dan padam, sama seperti oborku.

"Ada apa? Kenapa berhenti, Paman?" teriak Yasa yang kaget dengan kejadian yang mendadak ini.

"SSttt!" Gyula berdesis, menyuruh Yasa untuk diam.

Lengang sejenak, tak ada satupun diantara kami yang bersuara. Suasana terasa mencekam, membuat romaku berdiri karena takut. Ada apa ini? Apa ada hewan pemangsa seperti semalam lagi? Apa itu macan atau kelelawar lagi?

"Ada apa, Adara?" bisikku ke telinga Adara.

"Sepertinya ada orang di sekitar sini, Nay. Ada pasukan penjaga yang mengawasi area ini. Mungkin ada perkemahan rombongan kerajaan di dekat sini," jawab Adara juga berbisik.

Aku teringat saat kami menaiki perbukitan di Kelden menuju perkemahan Ratu Meera. Kami dicegat oleh enam prajurit Ratu Meera. Apa itu berarti sekarang kami juga dicegat oleh prajurit kerajaan juga? Tapi mana mereka? Apa unggun besar seperti perkemahan Ratu Meera tidak terlihat sama sekali. Aku berkeringat deras, melihat ke sekelilingku, menelisik keadaan.

"Keluar! Aku tahu kalian ada di dekat sini." Paman Azel berteriak keras.

Terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras berkali-kali. Seorang laki-laki keluar dari balik pohon yang cukup besar. Wajahnya sangar, tubuhnya kekar dan rambutnya panjang melebih bahunya. Matanya tajam penuh kesinisan. Senyumnya tipis, tapi penuh kelicikan.

Tak berapa lama, beberapa orang ikut keluar dari pepohonan di sekitar kami. Mereka semua memegang pedang dan memakai baju zirah. Kami seperti terkepung oleh keadaan. Jumlah mereka sangat banyak, tidak bisa kuhitung sama sekali. Mata mereka tajam seakan ingin membunuh kami. Astaga, apa yang terjadi sebenarnya sekarang?

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang