Kelas tiga SD, aku akhirnya menemukan teman baru. Hari itu Ibu mengajakku menemui temannya yang baru pindahan dari luar kota. Rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Sekitar 15 menit naik taksi, atau dengan angkot bisa memakan waktu 30 menit. Rumahnya dua tingkat, modelnya sama dengan rumahku. Hanya saja halamannya lebih luas, pagar besinya juga tinggi. Sekitar 2 meter, menutupi rumah dari pandangan orang.
Ibu menggandeng tanganku memasuki rumah tersebut, membuka pagarnya dan berjalan menaiki teras. Rumah itu serba putih, keramiknya putih, catnya putih, bahkan ada kolam kecil di samping teras rumahnya, dan kebanyakan isinya adalah ikan koi yang juga dominan berwarna putih, bercampur dengan warta hitam, merah dan kuning yang membuat ikan-ikan itu terlihat sangat cantik. Sementara Ibu mengetuk pintu rumah, aku asyik melihat-lihat ikan. Memasukkan tanganku ke dalam kolam, dan mencoba menangkap ikan yang mendekat.
Tawaku lepas saat ikan-ikan itu berhasil lari dari sergapanku. Air beriak karena ikan lari menjauh ke sudut kolam yang lain.
"Eh, Naya. Astaga ... jangan main-main air." Lekas Ibu menarik tanganku, mengelapnya hingga kering dengan tangannya sendiri.
Pintu rumah terbuka, seorang laki-laki seumuran Ibu keluar. Seorang anak perempuan seusiaku juga ikut keluar dengan bersembunyi di balik kakinya. Dia menatap Ibu dengan antusias, senyumnya terkembang lebar, seperti tengah bertemu dengan teman lama.
"Kara, kamu sudah datang?" suara laki-laki itu terdengar riang menyapa Ibu.
Ibu menoleh, ia ikut tersenyum, melepas tanganku dan memperbaiki posisi berdirinya.
"Hai, Dan! Lama kita tak bertemu, apa kabar?" Ibu menyapa, melambaikan tangan dengan pelan.
Laki-laki bernama Dan itu terkekeh, memegang bahu Ibu dengan akrab. "Kamu masih sama seperti dulu, Kara. Tadi di telpon kamu sudah menanyakan kabarku, sekarang menanyakannya lagi."
Ibu mengusap rambutnya yang sama sepertiku, dikucir seperti ekor kuda. Dia ikut terkekeh, menertawai dirinya sendiri. "Aku tidak berubah sama sekali, Dan."
"Ini putrimu, Kara? Apa dia yang kamu ceritakan kepadaku?" tanya Paman Dan seraya memandangku. Aku mendekat kepada Ibu, memeluk kakinya karena gugup.
"Iya, Dan. Kamu lama sekali pindah ke sini. Jika pindah lebih cepat, pasti semuanya sudah selesai kita urus," tukas Ibu.
"Istriku itu dokter, Kara. Dia harus mengurus proses pindah tugasnya dulu. Proses administrasi di pemerintahan itu ribet." Paman Dan kemudian turun, setengah duduk dengan bertumpu pada lututnya, ia mengusap rambutku, "siapa namamu, Sayang?"
Aku diam tak menjawab, memegang sudut rok ibu dengan erat. Wajahnya lembut, kulitnya putih sekali. Bola matanya coklat, alisnya tipis dan hidungnya mancung. Tampan sekali, mungkin dia idola semua perempuan semasa sekolah dulu.
"Naya, jawab apa yang ditanya Paman." Ibu mengusap bahuku.
Aku memilih memalingkan muka, melihat ke arah kolam lagi. Paman Dan kemudian kembali terkekeh melihat tingkahku.
"Lihatlah dia, mirip sekali denganmu, Kara. Pemalu!" ejek Paman Dan.
Ibu berdesis, menggeram menahan kesal dan kemudian memukul bahu Paman Dan dengan keras.
"Aduh, Kara!" Paman Dan setengah berteriak.
Membuatku menoleh kepadanya, kemudian melirik kepada sosok anak perempuan yang masih berdiri di belakang Paman Dan. Dia tersenyum kepadaku, rambutnya tergerai indah, kulitnya putih, sama seperti Paman Dan. Begitupun bola matanya, coklat, menawan seperti bola mata Paman Dan. Aku membalas tatapannya dan ikut tersenyum.
"Udah, nggak usah banyak bicara, biarkan anakmu bermain dengan anakku, kita harus segera membicarakan masalah ini." Ibu berbicara tegas kepada Paman Dan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...