Aku dan Yasa keluar dari kamar, menuruni tangga dengan bersisian. Sesekali Yasa menyenggol tanganku, bertanya-tanya tentang Harsa. Aku menjawabnya hanya dengan mengangkat bahu. Kami sama-sama tidak tahu tentang apa itu Harsa. Tapi Yasa orangnya sangat ngeyel sekali, menyenggol tanganku dan bertanya lagi lebih mendesak, membuatku sebal dengan sikapnya yang satu ini.
"Masa sih kamu nggak tahu soal Harsa, Nay? emang ibumu nggak pernah cerita?" tanya Yasa untuk yang ketiga kalinya.
Aku berhenti, menoleh kepadanya dengan tajam dan berkacak pinggang.
"Aku nggak tahu, Yas!" tegasku. Dia hanya tersenyum sengir, mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, menunjukkan simbol berdamai.
Satu persatu anak tangga kami turuni, kemudian berjalan ke ruang tamu. Disana Paman Dan sama Ibu tengah berbicara serius. Suara langkah kami membuat pembicaraan mereka terhenti.
"Kalian sudah siap?" Paman Dan melihatku dan Yasa dengan tersenyum.
"Siap, Yah?" Yasa mengangkat jempol kanannya.
"Ya udah, sekarang kita ke rumah dulu, Yasa." Paman Dan menoleh kepada Ibu, "kamu juga, kita harus mengantar mereka untuk bertemu langsung dengan Azel."
Ibu mengangguk pelan, kemudian mendekat dan membimbing tanganku untuk ikut dengannya. Kami keluar dari rumah, Ibu mengunci pintu, lalu kami masuk ke mobil Paman Dan. Beberapa saat kemudian kami sudah meninggalkan rumahku untuk menuju rumah Paman Dan. Sebelum mobil melaju, aku sempat melihat sebentar rumahku yang bercat putih dengan taman kecil yang ditanami bunga berbagai warna oleh Ibu.
Perlahan, rumahku hilang dalam pandangan mata, berganti dengan kesibukan jalanan. Aku menoleh kepada Ibu di samping, menatap lamat-lamat wajahnya yang tampak resah. Apa kami akan pergi sebentar? kenapa Ibu tidak bilang sama Ayah jika kami bakalan pergi? Pikiranku bertanya-tanya soal itu. Ibu baru menceritakan tentang Harsa baru belakangan ini, dan melarangku untuk bercerita kepada siapapun termasuk Ayah. Jika Aku dan Ibu pergi tanpa memberi tahu Ayah, kemudian Ayah marah gimana? Apa Ibu sudah menelpon Ayah tadi siang dan memberi tahunya?
"Apa kita akan pergi lama, Bu?" tanyaku membuka suara lebih dulu. Aku dan Ibu duduk di bangku tengah mobil Paman Dan.
Tatapan Ibu kepadaku tampak cemas, entah mengapa, aku tidak mengerti. Ibu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, Ia lebih memilih membuang muka ke luar jendela mobil.
"Berapa lama Naya harus belajar sama Azel, Dan?" tanya Ibu kepada Paman Dan.
"Kenapa kamu bertanya lagi, Kara. Bukankah kamu sendiri yang sepakat mereka akan pergi seminggu ke depan?" tanya Paman Dan yang terdengar kesal.
"Maaf, Dan. Aku sedikit khawatir melepas Naya ke Harsa."
"Kita sudah lama menunda hal ini, Kara. Jangan tunggu sampai kekuatan itu melukaimu atau suamimu, baru kamu mengantar Naya ke Harsa," tegas Paman Dan.
Aku menelan ludah mendengarnya, refleks kedua tanganku memegang lengan Ibu. Membuat Ibu kembali menoleh kepadaku yang belum mengerti maksud kalimat Paman Dan.
"Naya jangan khawatir ya, nanti Paman Azel akan menjelaskan semuanya kepada, Naya." Ibu mengusap rambutku yang dikucir seperti biasa.
Lengang sejenak, aku tidak menjawab sama sekali, tidak bersuara, tidak juga mengangkat bahu seperti biasa. Aku menoleh kepada Yasa yang duduk di bangku depan, dia sedang asyik memandang gedung-gedung tinggi tanpa memperdulikan pembicaraan kami.
"Apa Azel masih seperti dulu, Dan? Apa dia tidak berubah sama sekali?" tanya Ibu lagi kepada Paman Dan.
"Tenang saja, Kara. Sejak aku berhasil membuka pintu ke Harsa lagi, aku sudah bertemu Azel tiga kali, dia masih sama seperti kita kecil dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...