Bagian 4

85 15 0
                                    

Sudah bisa kupahami bahwa Ibu kesulitan mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan apa yang dilakukan Yasa tadi. Sesampainya kami di rumah, Ibu hanya mendudukkanku di sofa ruang tamu, sementara dia duduk berlutut di depanku agar kepala kami sejajar. Aku dengan polos mengusap rambut Ibu yang kusut. Sementara mataku memandang bola mata hitam Ibu dengan tersenyum. Wajah kami sangat dekat, bahkan deru nafas ibu terasa hangat menghempas wajahku.

Hening cukup lama, Ibu masih belum bersuara. Sementara aku masih mengusap-usap rambutnya, berharap Ibu tidak marah dengan kejadian tadi. Aku takut, sikap diam Ibu ini menunjukkan bahwa apa yang kulakukan di rumah Paman Dan tadi adalah sebuah kesalahan. Sehingga Paman Dan mengusir kami untuk pulang.

"Rambut Ibu bagus, sama seperti rambut, Naya." Aku bersuara lebih dulu, berharap ibu tidak diam-diaman lagi.

Aku sudah pendiam, tidak banyak bicara, jika Ibu tak bersuara juga, yang ada rumah ini bisa jadi seperti kuburan.

"Jangan cerita apapun tentang Yasa kepada orang lain, Nay." Ibu bersuara dingin, "kepada Ayah, temanmu, atau yang lainnya. Tidak ada yang boleh tahu tentang kekuatan Yasa, itu bisa membahayakan dirinya. "

Mata Ibu terlihat tajam, seolah mengintimidasi, membuatku menelan ludah membalas tatapannya. Tapi Ibu sepertinya sadar dengan rasa takut ini, dia mengembuskan nafas berat dan menekur sejenak. Lalu mengangkat kepalanya lagi seraya memejamkan mata, kemudian Ibu membukanya dan berusaha tersenyum hangat agar aku tidak takut lag kepadanya.

"Naya harus janji sama Ibu, kekuatan Yasa itu rahasia. Naya tahukan rahasia itu apa?"

Aku mengangguk tanpa bersuara.

"Kita tidak boleh membongkar rahasia orang, juga rahasia Yasa. Karena Yasa itu teman Naya, sahabat Naya, jadi Naya harus menjaga rahasianya sebaik mungkin. Naya harus menjadi teman yang baik untuk Yasa." Ibu memegang tanganku dengan erat, mendesak untuk memenuhi kata-katanya.

"Naya janji, Bu," jawabku dengan mengangkat kelingking kepada Ibu.

Kembali Ibu mengembuskan nafasnya dengan berat, kemudian mengaitkan kelingkingnya ke kelingkingku. Aku tersenyum senang, Ibu tidak marah sama sekali atas kejadian di rumah Yasa tadi. Aku kemudian menangkup kedua pipi Ibu dan mencium keningnya. Ibu memejamkan mata dan menarik bahu kecilku untuk didekapnya.

Hari itu Ibu tidak menjelaskan apa-apa kepadaku. Dia lebih memilih mengikatku dengan janji agar tidak mengatakan kepada siapa pun tentang kekuatan yang dimiliki Yasa.

***

Setelah kejadian tersebut, Yasa tidak pernah lagi menunjukkan kekuatannya. Aku sendiri juga tidak bertanya lagi tentang hal itu. Kata-kata Ibu dengan teguh kupegang, aku akan merahasiakan kekuatan Yasa dari siapapun, termasuk tidak bertanya lagi kepada Yasa tentang kekuatan aneh yang dimilikinya. Yasa sendiri juga tidak pernah membahas masalah tersebut, mungkin Paman Dan sudah memperingati Yasa agar tidak gegabah lagi menggunakan kekuatannya

Kami tumbuh sebagai sahabat, aku masih pendiam, aku hanya bisa terbuka kepada Yasa karena sering bermain dengannya. Keluarga kami tetap sering liburan bersama, ke kebun binatang, pantai, kebun teh, dan juga ke wahana bermain di pusat perbelanjaan.

Namun hal-hal aneh dengan tetap sering kualami. Api yang tiba-tiba saja muncul dan membakar buku-buku di kamar, termasuk juga buku gambarku. Tapi sekarang aku lebih cerdik, aku selalu melepaskan selembar kertas buku gambar jika ingin melukis sesuatu. Agar jika terbakar, semua gambarku yang sudah selesai tidak ikut hangus.

Awalnya memang ganjil terasa, aku tak mengerti kenapa buku-buku itu bisa terbakar saat aku pegang. Namun aku tahu kekuatan aneh itu muncul saat emosi tidak terkendali, seperti saat kesal karena gambarku tidak bagus. Atau aku emosi membaca cerita yang kubaca. Hasilnya, apa yang kupegang terbakar seketika dalam genggamanku.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang