Bagian 20

26 9 0
                                    

Mataku mengerjap berkali-kali, aku membukanya, dan terasa amat perih. Saat pandanganku kembali normal, aku berusaha untuk duduk, melihat keadaan sekitar. Di sebelahku ada Yasa yang masih belum sadarkan diri. Aku melihat ke sisi lain, ternyata kami berada di atas sebuah dipan, dalam sebuah rumah kayu yang cukup luas. Adara dan Reiga terlihat tengah makan di sebuah meja. Gyula dan Lajos tidak terlihat sama sekali, sementara Paman Azel tengah berbicara dengan seorang nenek tua, wajahnya keriput, sekitar matanya berkantung dan rambutnya putih panjang tergerai.

Aku berdiri dan berjalan mendekati Adara dan Reiga.

"Lekas makan, Naya. Kita akan lanjut ke Krupa sebentar lagi." Paman Azel memperingatkanku.

Aku menoleh, perempuan tua itu ikut melihatku. Aku tersenyum, kemudian menunduk memberi hormat. "Baik, Paman."

Lekas kuberjalan, duduk di depan Adara dan Reiga yang asyik menikmati makanan mereka. Reiga yang melihat kedatanganku menyodorkan nasi dengan daging panggang. Serta beberapa buah-buahan segar. Menu makanan di meja sederhana, tapi cukup menggugah seleraku yang tengah kelaparan.

"Apa terjadi, Reiga? Ini rumah siapa?" tanyaku berbisik.

"Makanlah, kita akan segera berangkat, kuda-kuda kita sedang disiapkan oleh Lajos dan Gyula," jawab Reiga.

"Iya, tapi ini rumah siapa? siapa nenek tua itu?" tanyaku lagi.

"Anak ini, apa gunanya kamu bertanya? makan saja, aku tidak mau ribut," ketus Reiga. Aku mendengus kesal mendengarnya, Reiga sama saja seperti Yasa, menyebalkan.

"Dia Tabib Wustho, ini rumahnya." Adara menyela pembicaraan kami, "semalam kita terkena jebakannya. Tabib Wustho sengaja memasang jebakan untuk masuk ke dalam Lembah Berus, wilayah yang ia kuasai. Kita menghirup gas beracun yang ia sebarkan di hutan kemarin. Untung ada muridnya mencari jamur yang hanya tumbuh malam hari dan menemukan kita. Lalu membawa kita kesini, kalau tidak, mungkin kita sudah mati."

Aku menelan ludah, "Jadi jebakan yang dipasangnya adalah gas beracun, Adara?"

"Banyak, Nay. Salah satunya gas itu, hutan ini memang terkenal bahaya, makanya Tabib Wustho memilih tempat ini untuk hidup dan meneliti banyak ramuan obat. Obat-obat itu dijual muridnya ke pasar yang ada di Krupa dan Nandor," jelas Adara. Aku manggut-manggut mendengarnya.

"Hei, makanlah, jangan bicara terus, ini sudah terlalu siang untuk kita berangkat." Reiga menyela pembicaraanku dan Adara.

Aku mendengus kesal lagi dengan sikap Reiga, kemudian menoleh ke arah jendela. Benar, matahari sudah bersinar terang. Pagi ini aku tidak akan latihan seperti kemarin. Padahal baru semalam aku bisa membakar sayap kelelawar yang menyerang kami.

***

Setelah selesai makan, Adara dan Reiga pamit keluar untuk menyiapkan keberangkatan kami. Yasa yang baru bangun ikut makan bersamaku. Aku kemudian menjelaskan apa yang terjadi kepada Yasa. Dia bersikap santai, seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Sekarang Yasa sudah lahap memakan nasi dan daging panggang.

"Sepertinya ini bukan daging ayam, Nay, ukurannya kecil sekali" ucap Yasa saat mengupas daging unggas di piringnya.

"Aku rasa juga begitu, Yas. Apa ini daging burung?" sahutku.

"Iya, itu daging burung, Nak. Hasil perburuan kemarin, ayam hutan sulit sekali ditemukan, karena kami harus bersaing mendapatkannya dengan hewan buas yang memangsa mereka." Tabib Wustho ikut bergabung bersama kami, dia sudah selesai berbicara dengan Paman Azel.

"Benarkah ini daging burung? rasa enaknya sekali, dagingnya jauh lebih lembut dari daging ayam," sahut Yasa.

Tabib Wustho tertawa tipis, "cepatlah kalian makan, yang lain sedang menunggu kalian untuk berangkat, ke Krupa."

"Siap, nek," jawab Yasa dengan bersemangat, "ngomong-ngomong, kenapa nenek tinggal di tengah hutan seperti ini?"

"Kamu Yasa, kan? pengendali air" Tabib Wustho balik bertanya.

"Iya, Nek, dan ini Naya, pengendali api." Yasa merangkul bahuku.

"Azel sudah bercerita tentang kalian dan peristiwa semalam, aku tahu kalian berasal dari Bumi. Jika kalian ingin tahu kenapa aku tinggal disini, ceritanya akan sangat panjang, Nak. Apa kalian ingin dengar?" tanya Tabib Wustho lagi.

"Iya, Nek. Kami akan sangat senang mendengarnya," tukasku mendesak.

Nenek Wustho mengembuskan nafas berat, kemudian mulai bercerita.

"Ayahku dulu adalah tabib di kerajaan Armadya, kerajaan Ratu Meera Aku melanjutkan tugasnya sebagai tabib disana, tapi sekitar 25 tahun lalu ada masalah besar di dalam kerajaan. Raja Elson yang berkuasa saat itu tidak memiliki anak laki-laki, ia kemudian mencari selir, tapi tetap saja yang lahir adalah anak perempuan. Saat itu aku merasa akan ada masalah di kerajaan jika Raja Elson tak kunjung mendapatkan anak laki-laki."

"Aku memutuskan untuk pergi dari kerajaan Armadya lima tahun setelah itu, membawa beberapa muridku ke Lembah Berus ini. Aku tidak mau terlibat ke dalam masalah besar yang akan menjadi peperangan jika Raja Elson tidak punya anak laki-laki. Saat itu Raja Elson sudah memilik selir lebih dari lima, putrinya sudah lebih dari sepuluh. Bayangkan, Nak, jika setiap putrinya menikah dengan pangeran dari kerajaan lain, berapa kerajaan yang akan bertarung untuk menempatkan pangeran mereka di istana Armadya?"

Aku menggeleng, Yasa terlihat kaku mendengar cerita Tabib Wustho, bahkan tidak sadar ada nasi yang menempul di hidung bulatnya.

"Antar putri akan saling bunuh untuk menjadi Ratu, suami mereka akan saling cekal. Lima tahun setelahnya, Raja Elson menjadikan Ratu Meera sebagai selirnya yang ke delapan. Ratu Meera ternyata seorang pengendali air yang menyembunyikan jati dirinya. Dia diambil Raja Elson sebagai selir dari salah satu desa di utara saat dia berburu."

"Kalian tahukan bahwa pengendali elemen kehidupan di Harsa selalu menyembunyikan jati diri mereka?" tanya Tabib Wustho. Aku dan Yasa mengangguk.

"Ratu Meera seperti itu, dia tidak bisa menolak permintaan Raja Elson untuk menjadi selir, akhirnya dia menyembunyikan jati dirinya karena takut Raja Elson akan membunuhnya jika tahu bahwa dia pengendali air. Setelah menikah, Ratu Meera akhirnya melahirkan anak laki-laki untuk Raja Elson, dia Pangeran Sena, sekitar 14 tahun lalu. Seluruh kerajaan bersuka cita, penerus kerajaan Armadya telah lahir. Tapi jati diri Ratu Meera terbongkar, salah satu orang di desa asalnya membongkar jati diri Ratu Meera sebagai pengendali air kepada kerajaan Armadanta di utara. Berita itu menyebar luas hingga ke seluruh negara di dunia."

"Kalian tahu tentang perjanjian 800 tahun lalu?" Tabib Wustho bertanya lagi, aku dan Yasa mengangguk kembali menjawabnya.

"Pangeran Sena terlahir mewarisi gen ibunya sebagai pengendali air, dia tidak boleh naik menjadi raja, pengendali elemen kehidupan tidak boleh memiliki kekuasaan. Para raja munafik itu menganggap Raja Elson sudah melanggar perjanjian damai 800 tahun lalu. Mereka mendesak Raja Elson untuk membunuh Ratu Meera dan Pangeran Sena. Tapi Raja Elson menolak, dia sudah tua, Pangeran Sena adalah satu-satunya penerus yang ia miliki. Juga karena Raja Elson sangat mencintai Ratu Meera." Tabib Wustho berhenti sejenak.

"Semua orang juga tahu bahwa Ratu Meera juga mencintai Raja Elson. Permaisuri Raja serta selir yang lain cemburu karena Raja Elson lebih memperhatikan Ratu Meera. Apalagi cuma Ratu Meera yang melahirkan anak laki-laki. Iri dan dendam, mereka bersekongkol dengan kerajaan lain untuk melenyapkan Raja Elson, Ratu Meera dan Pangeran Sena. Kerajaan lain tentu senang dengan rencana itu, karena mereka tidak ingin memberi ruang bagi pengendali elemen kehidupan berkuasa."

"Akhirnya malam itu terjadi, penasehat Raja Elson, Patih Yasodana memimpin kudeta. Terjadi perang di dalam istana selama berhari-hari, banyak hal yang terjadi selama perang, hingga Patih Yasodana berhasil membunuh Raja Elson dan menjadi Raja di Armadya, menggantinya dengan kerajaan Yasodya."

"Entah apa yang terjadi, Ratu Meera dan Pangeran Sena berhasil selamat bersama orang-orang yang setia kepada mereka dan sekarang bersembunyi dari perburuan banyak negara di dunia. Mereka berpindah-pindah tempat agar tidak diketahui oleh raja-raja munafik itu." Tabib Wustho berhenti lagi, dan melihat kepadaku dan Yasa.

"Aku dulu pernah bertemu dengan Dan juga Kara saat mereka masih sangat kecil, aku juga kenal dengan kakek dan nenek kalian yang gugur saat membela Ratu Meera. Semoga kalian nanti bisa mengembalikan Ratu Meera dan Pangeran Sena ke tahta mereka, Nak. Aku yakin mereka bisa mengembalikan kehidupan masyarakat seperti saat Raja Elson berkuasa," tutup Tabib Wustho akan cerita panjangnya.

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang