Gyula dan Lajos terlihat sudah sembuh dari luka mereka semalam. Tabib Wustho sudah mengobati mereka. Bekas cakaran di lengan Lajos bahkan sudah sehat, meninggalkan jejaknya yang kehitaman. Kuda-kuda kami juga terlihat bugar dan kembali bertenaga. Mereka terlihat menikmati udara lembah berus yang segar di pagi hari.
Di sisi lain, Paman Azel terlihat berbicara dengan murid Tabib Wustho yang tengah menjemur tanaman obat. Reiga dan Adara terlihat disana, mereka antusias mendengar penjelasan murid Tabib Wustho. Seluruh pengikut Tabib Wustho sama seperti kami, memakai pakaian hitam terusan menutupi hingga mata kaki. Aku menghitung ada lima murid Tabib Wustho yang tengah sibuk menjemur berbagai tanaman obat yang sudah mengering.
"Apa kita akan langsung berangkat, Naya?" tanya Yasa yang merenggangkan tubuhnya di sampingku.
"Sepertinya begitu, Yas. Paman Azel bilang begitu tadi, kan?"
"Ah, aku mau mandi dulu, sudah beberapa hari ini kita tidak mandi sama sekali, gerah sekali rasanya," Yasa terlihat berkeluh ringan.
"Kalian mau mandi?" tanya Tabib Wustho yang berdiri di depan kami, "sungai cukup jauh dari sini, itu akan memakan waktu jika kalian mandi terlebih dahulu sebelum pergi."
"Sungai? apa disini tidak ada kamar mandi, Nek?" tanya Yasa menyelidik.
Tabib Wustho menggeleng, dia turun dari teras rumah kayunya dan berjalan ke menghampiri Paman Azel. Wajah Yasa masam, jengkel dengan keadaan. Suasana disini memang tidak seperti di Bumi. Perlu waktu bagi kami untuk bisa menyesuaikan diri dengan semua perbedaan ini.
"Mana mungkin mereka tidak punya kamar mandi, emangnya kalau mereka kebelet, buangnya kemana coba?" tanya Yasa mendengus kesal.
Aku mengabaikan ocehannya, kemudian turun dari teras menghampiri Gyula dan Lajos. Mereka tengah membereskan barang-barang kami ke punggung si hitam, si cokelat dan si putih di sebuah pondok kecil, tempat kuda-kuda milik Tabib Wustho di terikat. Sepertinya pondok itu adalah kandang bagi kuda-kuda Tabib Wustho.
Si putih melihat kepadaku sejenak, untuk kemudian melanjutkan makannya. Kulitnya terlihat basah, sepertinya mereka baru selesai dimandikan oleh Gyula dan Lajos. Aku senang sekali dengan si putih. Jika bisa, aku ingin membawanya ke Bumi untuk dipelihara di belakang rumah. Ah, tapi ayah pasti tidak mengizinkannya.
"Apa kalian perlu bantuan?" tanyaku saat melihat Gyula dan Lajos sangat sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Tidak, Naya. Apa kondisimu sudah jauh baikan?" sahut Lajos.
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Kita diobati oleh Tabib Wustho semalam, juga oleh Reiga, teknik penyembuhan Reiga cukup membantu luka kakiku yang terinjak kuda," seru Gyula.
"Oh, jadi Reiga yang mengobati luka kalian?" tanyaku yang takjub mendengarnya.
"Reiga dan Tabib Wustho, Reiga punya teknik penyembuhan, Tabib Wustho punya ramuan untuk mempercepat penyembuhan. Mereka kompak sekali menyembuhkan lukaku tadi pagi," jawab Gyula.
"Apa bedanya? mereka sama-sama bisa mengobati, kan?" Dahiku berkerut bingung.
"Beda, Nay. Reiga bisa mengobati luka dalam kita tanpa ramuan apapun. Sedangkan Tabib Wustho mengobati penyakit dengan ramuannya. Keahliannya luar biasa oleh sebab itu Tabib Wustho disebut tabib legendaris, sama dengan beberapa tabib legendaris lainnya yang masih hidup, masing-masing mereka punya keunggulan yang tidak dimiliki tabib biasa." Lajos memperjelas.
Yasa manggut-manggut, memahami penjelasan Lajos dan Gyula.
"Ngomong-ngomong, teknik apimu semalam hebat sekali, Naya. Aku baru kali ini melihat seseorang mengeluarkan teknik apinya. Kamu benar-benar memiliki darah langka itu," tutur Gyula seraya mengencangkan tali pengikat barang di tubuh si coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...