Bagian 25

24 9 0
                                    

Berjam-jam kuda kami berlari meninggalkan lokasi pertempuran, kami berbelok ke arah selatan agar tidak terlalu menjauh dari desa tujuan. Hingga Paman Azel memutuskan untuk beristirahat malam ini di dekat sebuah telaga. Airnya tidak terlalu jernih, berwarna kecoklatan. Adara hanya menghidupkan api unggun kecil untuk penerangan dan mengusir hewan luas. Malam ini kami tidak mendirikan tenda untuk beristirahat.

Mataku menatap nanar bunga api yang terbang dari unggun. Sedari tadi aku hanya bisa melamun, tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Sementara Yasa di depanku menangis tersedu-sedu. Ia dari tadi memaki Paman Azel, Adara, Reiga dan juga Gyula. Umpatannya keluar begitu saja tanpa bisa ia kendalikan. Sekarang dia hanya bisa duduk di depan api unggun dengan air mata terus menetes.

Lajos adalah teman perjalanan yang sangat menyenangkan. Dia asyik diajak bercerita, baik dan juga ramah. Kehilangannya terasa sangat menyakitkan, membuat hatiku bergemuruh, menyesal tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Bahkan aku tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi. Padahal sejak makan malam dia terlihat asyik bercanda dengan yang lain. Tapi sekarang entah seperti apa nasibnya.

"Lajos sengaja mengalihkan perhatian lawan, dia berlari ke arah utara agar prajurit lawan tidak terus mengejar kita ke arah barat." Adara duduk di dekatku, ia memberikanku segelas air dari gelas bambu. Setelah dimaki-maki oleh Yasa tadi, Adara lantas pergi ke hutan mencari air minum.

Aku melihat kepada Adara, dia memberikan segelas air juga untuk Yasa.

"Kenapa dia harus melakukan itu, Adara? Itu membahayakan dirinya sendiri," lirihku.

"Itu pilihan seorang prajurit, Nay. Kamu tadi dengar sendiri kalau musuh kita tadi membawa putri raja, kan? Itu berarti mereka membawa rombongan besar, mungkin ada seratus hingga dua ratus prajurit yang ikut. Perjalanan ke Pau Seyda itu jauh, butuh waktu berbulan-bulan, belum lagi naik kapal kita tidak akan menang melawan mereka."

"Lalu apa Lajos bisa selamat? Kita harus mencarinya, Adara," sela Yasa yang tampak emosional.

Adara menggeleng pelan, menatap Yasa dengan nanar.

"Tidak, Yasa. Dia sudah berkorban nyawa. Dia akan menghalangi prajurit lawan untuk mengejar kita dengan taruhan nyawanya. Ini biasa dalam melaksanakan misi kerajaan. Tidak ada yang perlu disesali, misi sama nilainya dengan nyawa seorang prajurit."

"Itu tidak sama, Adara. Nyawa tetaplah nyawa, dan ...."

"Dan kita tidak perlu berdebat soal itu, Nay." Adara memotong kalimatku, "mengorbankan satu nyawa jauh lebih baik dari pada tujuh nyawa. Jika Lajos tidak mengorbankan nyawanya, maka kita semua bisa tertangkap, kita tidak bisa melawan prajurit sebanyak itu."

Lengang sejenak, aku melihat kepada Yasa yang menggigit bibir, dia sudah capek memaki-maki dari tadi. Sekarang Yasa tidak mau lagi menanggapi ucapan Adara. Aku juga tidak bisa menjawab perkataan Adara barusan dan juga aku tidak mau bertengkar disini, karena kami baru saja berduka kehilangan Lajos.

"Tidurlah segera, karena pagi-pagi kita harus latihan dan berangkat menuju Desa Azaran." Adara bangkit dan pergi meninggalkanku.

Kembali aku termenung memandang bunga api unggun, sesekali menambah kayunya yang tadi dikumpulkan Reiga. Hingga aku tidak sadar, entah seperti apa aku tertidur malam itu. Semuanya berlalu bersama rasa kehilanganku akan sosok Lajos.

***

Adara membangunkanku lagi seperti sebelumnya, saat mataku terbuka, aku langsung di sambut oleh langit penuh dengan bintang. Aku mengerjapkan mata beberapa kali seraya mengusapnya. Lantas duduk, terlihat Yasa tengah mencuci muka dengan air dari tangannya sendiri. Ah, enak sekali mungkin jadi pengendali air. Cuci muka gampang saja saat bangun tidur. Apa dia seperti itu juga saat di rumah?

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang