Bagian 22

24 9 0
                                    

Perjalanan kembali kami lanjutkan, hutan lebat dan tinggi perlahan mulai berganti dengan pepohonan jarang dan semak belukar. Matahari yang dari tadi tidak terlihat sama sekali, sekarang tampak bersinar terang di langit. Kuda-kuda kami berlari kencang, meninggalkan Lembah Berus ratusan kilometer di belakang kami.

Matahari perlahan turun ke ufuk berat, langit mulai menguning. Kuda-kuda kami masih berlari kencang. Hingga akhirnya jingga mulai menyapa dan kami berhenti di sebuah area yang cukup luas. Tapi masih dikelilingi beberapa pepohonan tinggi dan semak belukar.

Dairi pamit untuk melanjutkan perjalanannya ke pusat kota Krupa, tepatnya ke pasar tempat dia menjual ramuan obat. Sekitar satu hari perjalanan lagi ke arah barat dengan kuda, sementara kami akan melanjutkan perjalanan ke arah barat daya.

"Kita akan sampai besok sore di desa itu, kita bisa beristirahat tenang disana esok malam," tutur Paman Azel saat mengikat si cokelat ke salah satu pohon.

"Kamu dengar, Yasa. Jadi jangan mengeluh lagi, tunggu saja sampai besok, kita bisa mencari penginapan yang bagus di Desa Azaran." Suara Reiga menderu kesal, dia sepertinya kesal dengan sikap Yasa yang sangat menyebalkan. Aku hanya bisa menebak jika Yasa sering mengeluh kepada Reiga selama perjalanan tadi.

Ah, aku juga sama seperti Yasa, ingin mengeluh, pinggangku benar-benar sakit duduk di punggung kuda selama berjam-jam.

"Maksud kamu apa ngomong seperti itu?" Yasa berkacak pinggang menantang Reiga.

Aku mengembuskan nafas berat, lalu menjauh. Percuma saja memperingatkan Yasa, membuang tenaga saja. Lebih baik aku konsentrasi untuk latihan sore ini agar api benar-benar bisa keluar dari tanganku. Reiga dan Yasa akhirnya ribut kecil, berdebat tentang ucapan Reiga tadi yang tidak diterima oleh Yasa. Dia seakan disudutkan oleh pernyataan Reiga itu.

Langkah kakiku mengikuti Adara yang berjalan mengikat si putih ke salah satu pohon yang ada di dekatnya. Meninggalkan perdebatan Reiga dan Yasa yang tengah dilerai Paman Azel bersama Gyula dan Lajos. Suara Yasa bahkan terdengar melengking penuh emosi. Sementara Reiga mengejeknya dengan santai.

"Kamu beruntung membawaku, Adara, aku orangnya tidak cerewet seperti Yasa, jadi kamu bisa tenang membawa kudanya," gurauku kepada Adara.

Adara melihatku, tertawa tipis.

"Baguslah, setidaknya aku tidak perlu memarahimu. Aku kalau marah, bisa membuatmu jantungan," balas Adara. Aku tertawa terkikik mendengarnya.

"Benarkah? Apa kamu lebih galak dari guruku di sekolah?"

Dia diam tidak menjawab, kemudian duduk bersandar di pohon tempatnya mengikat tali si putih. Aku memilih ikut duduk di sampingnya, selonjoran untuk merenggangkan otot kakiku yang terasa menegang.

"Kamu sudah pernah ke Desa Azaran itu, Adara?" tanyaku lagi.

"Belum, Naya. Selama ini kami sering menjalankan misi seperti ini, jadi sudah banyak desa yang kami kunjungi, desa selanjutnya adalah desa itu."

"Apa semua misimu berhasil?"

"Iya, berhasil," jawab Adara dengan datar.

"Wah, apa itu berarti sudah banyak desa yang mau mendukung Ratu Meera?" tanyaku lagi melirik wajah Adara yang selalu tampak senang.

Dia menoleh dan menggeleng pelan, "Jika aku masih hidup, itu berarti aku menjalankan misi bersama Paman Azel dengan selamat, Naya. Tidak semua mereka mau bekerja sama dengan kami. Ada yang menerima, ada yang tidak menjawab, bahkan ada yang menolak dan balik menyerang kami. Semuanya sudah kualami."

Aku diam sejenak, mencerna ucapannya. Kemudian tersenyum tipis, memegang bahu Adara, bermaksud untuk memberinya semangat. "Ratu Meera orang baik, Adara. Aku yakin dia pasti akan kembali ke tahtanya suatu hari nanti."

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang