Bagian 16

31 9 0
                                    

Si putih terus berlari kencang menyusuri hutan lebat dan tinggi menuju barat daya, menuruni lereng bukit yang cukup tinggi. Kami sudah jauh meninggalkan perkemahan Ratu Meera di Kelden. Menembus hutan belantara yang rimbun, bahkan sinar matahari tidak masuk ke dalam hutan. Aku tidak tahu sudah berapa jam kami berjalan. Matahari juga tidak terlihat dimana posisinya. Jika terlihat, mungkin aku bisa menerka jam berapa sekarang.

Perjalanan kami lancar, tidak ada hambatan. Hingga kami memutuskan beristirahat di tepian sungai besar lagi. Kuda-kuda kami meminum air sungai dan diberi makan oleh dua prajurit yang mengawal kami. Sementara Reiga dan Yasa asyik memanggang ikan. Mereka yang pada pertemuan pertama hampir bertengkar, sekarang terlihat sangat akrab. Di sisi lain Paman Azel terlihat sibuk memotong kayu yang aku tidak tahu untuk apa.

Aku melihat kepada Adara yang termenung di tepian sungai. Aku memilih berdiri, meninggalkan Yasa dan Reiga memanggang ikan. Kuhampiri Adara yang melihat datar aliran sungai lebar yang tenang. Aku berdiri di sampingnya, tapi Adara tidak menyadari kedatanganku sama sekali.

"Apa sungai ini sama dengan tempat bersalju kemarin, Adara?" tanyaku berbasa basi.

"Eh, Naya." Adara terlihat kaget, dia memperbaiki sejenak posisi duduknya, "tidak, ini aliran sungai yang berbeda."

Aku duduk di samping Adara, dan melihatnya yang mengusap pelipis mata. "Paman Azel lagi buat apa, Adara?" tanyaku lagi, aku ragu untuk menanyakan dia kenapa sampai melamun seperti itu.

"Anak panah, Nay. Paman Azel selain ahli pedang, dia juga pemanah handal," jawab Adara dengan singkat. Sepertinya belum tepat aku menanyakan Adara kenapa. Aku memilih untuk menanyakan tentang Laura saja, aku masih penasaran dengan anak itu.

"Laura, dia sebenarnya kenapa Adara? dari semalam dia tidak mengeluarkan suara sama sekali, dan juga, kenapa dia bisa seperti tadi kepadaku?"

Adara mengembuskan nafas berat, kami lengang sejenak, "Mungkin dia merasa senasib denganmu, Nay," jawab Adara dengan singkat lagi.

"Senasib?"

"Ceritanya panjang, Nay. Kamu mau mendengarnya?" tanya Adara melihatku. Aku mengangguk dengan penuh rasa penasaran.

"Tahun lalu aku, Paman Azel, dan Reiga mendapatkan misi yang sama seperti sekarang. Mengantar surat diplomasi ke wilayah yang jauh di selatan. Saat kami datang, semua rumah di sana habis terbakar, mayat-mayat bertebaran di jalanan dengan kondisi tragis. Sebelum kami datang, ada kerajaan yang menyerang dan membantai semua orang di desa itu. Di sanalah aku menemukan Laura." Adara menarik nafas sebentar.

"Mungkin dia melihat ayah dan ibunya dibantai, Nay."

"Di-dibantai, Adara?" ucapku bergidik ngeri mendengarnya.

"Iya, tubuh orang tuanya sudah tidak utuh lagi. Aku menemukan Laura bersembunyi di balik puing-puing sisa kebakaran rumahnya, menangis memeluk kepala ibunya yang sudah putus dari badan."

Aku menelan ludah, astaga, membayangkannya saja aku tidak sanggup.

"Laura itu nama yang kuberikan bersama Reiga, karena Laura sendiri tidak tahu nama aslinya. Sebenarnya Paman Azel menyuruhku membunuh Laura disana, agar dia dapat tenang bersama ruh ayah dan ibunya. Tapi aku tidak tega, dan memilih membawa Laura. Dia menolak, memberontak dan tidak mau pergi. Dia meraung-raung, histeris memegang tangan ayahnya yang sudah putus dari badan. Akhirnya aku paksa dia naik ke kuda, mencampakan tangan ayahnya dan membawa Laura ke perkemahan kami. Laura tidak pernah bersuara sama sekali, tersenyum pun jarang, dia hanya bisa menyebut nama yang kuberikan."

"Dia sering melamun sendiri, diejek bisu dan dikucilkan di perkemahan oleh anak-anak yang lain karena sikap pendiamnya. Dia tidak punya teman di perkemahan, Nay. Saat aku kembali ke perkemahan, dia sering tampak menangis tanpa suara. Kadang juga dia diusili, pakaiannya dirobek, atau rambutnya dikasih kotoran kuda oleh anak perkemahan yang nakal. Aku tidak bisa membawanya pergi karena misi kami bisa membahayakan Laura, jadi dia harus tinggal di perkemahan. Sebenarnya Ratu Meera menolaknya karena dia bukan bagian dari kami, tapi Paman Azel menjadikan dirinya sebagai jaminan Laura."

Bumi dan Harsa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang