"Yasa!" Aku menggeram marah kepada anak usil ini.
Dia tersenyum sengir, mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, menunjukkan simbol damai. "Peace," gumamnya dengan berbisik.
"Kara, Naya, Yasa, kesini!" Paman Dan memanggil kami, dia sepertinya sudah keluar dari tempatnya bersembunyi tadi.
Ibu lekas menarik tanganku untuk kembali ke jalan, dan Yasa mengekori kami dari belakang. Paman Dan terlihat berdiri bersama seorang laki-laki seusianya, wajahnya putih seperti Paman Dan, bola matanya berwarna kebiruan. Pipinya tirus dan rambutnya panjang sebahu. Tapi, hei! dia memakai pakaian yang sama denganku dan Yasa. Berwarna hitam, terusan hingga ke mata kakinya. Apa itu berarti dia orang asli dunia ini?
"Wah, Kara. Kamu sudah besar ...." Laki-laki itu kemudian terkekeh melihat Ibu yang tersenyum kecut melihatnya.
"Kamu pikir aku akan selalu menjadi anak kecil seperti dulu apa!" sentak Ibu yang kesal dengan laki-laki itu.
Suara tawa laki-laki itu semakin besar. "Lihatlah, Dan. Kara masih sama seperti dulu, sikapnya tidak berubah sama sekali," laki-laki itu menepuk-nepuk bahu Paman Dan.
Eh, tunggu sebentar, mereka berbicara dalam bahasa yang aneh, bukan bahasa yang kukenal di Bumi. Tapi anehnya aku mengerti apa yang mereka katakan. Aku termangu, melihat laki-laki itu yang berbicara dengan bahasa yang baru kukenal itu. Kemudian menoleh kepada Yasa yang tampak bengong melihat mereka. Sepertinya Yasa juga merasa heran dengan bahasa yang digunakan Paman Azel.
"Dia memang seperti itu, Azel, tidak berubah sama sekali." Paman Dan menjeda sejenak kalimatnya, balas menepuk pelan bahu laki-laki yang ternyata adalah Paman Azel, "kami tidak bisa lama-lama, sebentar lagi matahari akan terbenam di Bumi, jadi kami harus segera kembali."
"Hei!" Paman Azel terlihat memprotes, "aku bahkan belum melepas rindu dengan Kara, tapi kamu sudah ingin membawanya pergi dari sini."
"Astaga, Azel! Jangan banyak bicara lagi, seminggu yang lalu kita sudah membicarakan semuanya." Paman Dan melihat kepadaku dan Yasa, "perkenalkan diri kalian anak-anak, ini Paman Azel, kalian akan tinggal disini untuk berlatih dengannya."
Aku dan Yasa sejenak terdiam, saling pandang. Yasa mengangkat kedua bahunya, menirukan sikapku. Lalu kemudian ia mengulurkan tangan kepada Paman Azel.
"Yasa, Paman." Yasa memperkenalkan diri.
"Wah, dia cantik sekali, Dan," sahut Paman Azel, "jadi Yasa ini putrimu?"
"Iya, dan ini Naya, putri Kara." Paman Dan memperkenalkanku kepada Paman Azel
"Halo, Paman," sapaku kepadanya.
"Halo, Naya, kamu cantik seperti Ibumu. Apa sikapmu juga sama seperti dia?" Paman Azel menunjuk Ibu dengan polos, "pendiam dan suka mara-marah."
"Azel! jangan menjelek-jelekanku di depan putriku sendiri!" bentak Ibu.
Paman Azel kembali terkekeh, memandang Ibu dengan wajah mengejek. Aku memperhatikan sikapnya dengan kebingungan. Apa yang lucu dari ucapan Ibu tadi coba? Kenapa dia bisa tertawa seperti itu?
"Cukup, Azel. Kami tidak bisa lama-lama, kami titipkan Yasa dan Naya kepadamu. Sebagai pengendali petir, kami memiliki darah dari tiga elemen sekaligus, kamu pasti bisa melatih mereka berdua. Kamu adalah orang yang tepat melatih Naya dan Yasa," terang Paman Dan.
Tawa Paman Azel sudah berhenti, dia berdiri sempurna, melihat Ibu dan Paman Dan.
"Kalian ini menyusahkanku saja, jadi berapa lama mereka akan ikut denganku?"
"Seminggu." Paman Dan menatap Paman Azel dengan serius, "tepat seminggu lagi, aku akan menjemput mereka di sini."
"Wah, wah! Kamu ini benar-benar menyusahkan, Dan. Aku tidak janji bisa tepat waktu mengantar mereka ke sini, kamu aktifkan saja lorong ke Bumi. Aku akan mengantar mereka dalam hitungan waktu seminggu, bisa jadi lebih lama dari itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Harsa (Tamat)
Fantasy( T A M A T ) Dia tak pernah mengira bahwa kemampuan aneh yang ia miliki itu nyata. Namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. ibunya dengan sangat terpaksa mengirimnya untuk belajar mengendalikan kemampuan itu dengan orang lain. petu...