Chapter 30

2.2K 222 32
                                    

Aku duduk seraya memandang ke arah luar jendela kantor yang menghadap ke arah gedung sebelah alias tidak ada pemandangan yang bisa menyegarkan mata. Jaraknya memang cukup jauh tapi tetap saja membosankan. Pilihanku memandang ke arah gedung sebelah atau Nuga, rekan kerja yang mejanya ada tepat di sebelahku. Aku tidak membenci Nuga sampai tidak ingin memandangnya, aku hanya sedang tidak ingin saja.

"Tara?"

"Hmm?"

"Tara!"

"Apa sih, Nu?"

"Aku ingin menikah."

"Aku ingin pergi ke bulan."

"Serius, Ta!"

"Calonnya ada?"

"Belum ada. Ya kan aku cuma bilang ingin menikah."

"Untuk yang kesekian kalinya, Nu. Bosan ah dengarnya. Nanti deh kalau calonnya sudah pasti yang mana, baru kamu ngomong lagi."

"Kamu tidak ada keinginan untuk menikah, Ta?"

"Berkaca dari kehidupan kalian, jawabanku tidak. Lagian aku sudah mapan, punya rumah sendiri, punya mobil, penghasilan lumayan buat foya-foya awal bulan, aku punya kalian yang bisa aku manfaatin kalau lagi perlu, dan yang terpenting, Nu, aku gay," ucapku seraya mengucapkan kalimat terakhir dengan suara berbisik. Nuga hanya tertawa mendengarnya.

Walau dulu aku berprinsip bahwa hubungan dengan rekan kerja cukuplah di lingkup pekerjaan saja, namun tiga makhluk biadab di perusahaan ini mematahkan prinsipku. Selama empat tahun aku kerja di perusahaan ini sebagai staf administrasi, hanya mereka bertiga orang-orang terdekatku. Selain sama-sama single, kami seumuran, memiliki sudut pandang yang terkadang berbeda namun satu tujuan dalam hal menggosip, memiliki nasib yang berbeda namun selalu ada saat teman membutuhkan. Selain Nuga, ada dua orang lagi namun ada di divisi yang berbeda. Pertemuan kami klise, tidak sengaja duduk semeja di sebuah tempat makan dekat perusahaan saat jam makan siang. Setelah itu kami selalu makan siang bersama, terkadang setelah jam kantor pun kami memutuskan untuk pergi bersama. Bosan sih kadang soalnya yang dilihat muka mereka melulu.

Saat ini memang hanya Nuga yang tahu tentang orientasi seksualku, itupun karena aku capek dengan dia yang selalu berusaha untuk menjodohkanku dengan teman-temannya. Dia tadinya mengira aku hanya ingin menghindari perjodohan konyolnya namun aku akhirnya menunjukkannya koleksi film tentang lesbian di laptop personalku. Sejak saat itu dia tidak lagi menjodohkanku dengan siapapun namun menganggapku sebagai saingan.

"Ta, tidak berniat cari pacar?" tanya Nuga seraya menggeser kursinya mendekat ke arah mejaku. Tangannya yang tidak bisa diam meraih toples kue di atas mejaku dan memakan isinya dengan wajah tanpa dosa.

"Pacarnya yang tidak niat mencariku."

"Tidak laku ya, Ta?"

"Selektif, Nu. Aku tidak seperti kamu yang asal ada makhluk berpayudara langsung diembat."

"Sembarangan ya mulutmu itu. Aku juga selektif kok, tapi sayangnya mereka jauh lebih selektif makanya aku selalu diputusin."

"Yang terakhir putus kenapa?"

"Katanya aku pelit karena terkadang kalau kencan itu aku minta split bill, padahal kan wajar aja. Aku kan tidak punya kewajiban bayarin makannya yang selalu memilih resto high end tiap kencan."

"Yang sebelumnya?"

"Karena aku tidak merayakan dan memberi kado di hari ulang tahunnya padahal ulang tahun kalian saja aku sering lupa."

"Yang putusnya malam Tahun Baru?"

"Karena aku menolak merayakannya di club bersama dia dan teman-temannya. Aku dibilang kuno hanya karena tidak suka ke club dan mabuk-mabukan. Aku tidak merokok saja dibilang tidak jantan. Aku lebih memerhatikan kesehatanku daripada gaya hidup seperti itu. Harusnya bangga dong. Heran deh."

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang