Chapter 39

1.2K 104 10
                                    

Suasana pagi di Jakarta ataupun Bandung sama saja, tidak ada bedanya. Sudah terdengar suara pedagang keliling yang menawarkan dagangannya, seperti tukang bubur ayam yang sedang mangkal di pengkolan sana. Dia biasanya akan diam di sana selama beberapa waktu sebelum berkeliling sembari mendorong gerobaknya. Langganannya kebanyakan ibu-ibu sekitaran kostku yang sepertinya beli untuk anaknya sebelum berangkat sekolah atau anak balitanya. Aku tidak tahu bagaimana rasanya karena tidak pernah beli, mungkin enak karena pelanggannya lumayan banyak. Aku lebih suka sarapan nasi ketimbang bubur ayam karena rasa kenyangnya hanya bertahan sebentar saja. Terkadang juga aku sarapan roti saja. Tergantung mood aku sajalah.

Di pagi yang cerah ini semestinya juga disambut dengan keceriaan, yah minimal mood yang bagus lah. Namun, nyatanya mood aku sedang tidak baik. Hal yang pertama kali aku ingat saat aku membuka mata ketika bangun tidur adalah pembicaraanku dengan Bunda tadi malam. Beliau bilang urusan baju yang akan dipakai keluargaku saat acara pernikahan dan resepsi perkawinanku dengan Bima sudah beres. Begitupun gaun yang akan aku pakai nanti. Gaun yang aku pilih sendiri dengan pemikiran ini akan menjadi acara sakral yang hanya akan terjadi sekali seumur hidupku dan memikirkan Bima yang akan melihatku dengan gaun tersebut. Saat itu, hingga beberapa minggu lalu, aku tidak sabar dengan reaksi Bima saat melihatku berdandan di acara pernikahan dan resepsi perkawinan kami. Tapi, kini yang aku pikirkan adalah bagaimana reaksi Tara saat melihatku bersanding dengan Bima di pelaminan nanti.

Apakah Tara akan senang melihatku bersanding dengan pria pilihanku? Memiliki masa depan seperti yang dia katakan dulu.

Ataukah dia akan sedih dan cemburu karena aku akan menjadi milik orang lain untuk selamanya?

"Ca, Bunda sudah tidak sabar untuk melihatmu mengenakan gaun itu. Ayahmu malah jadi cengeng karena katanya tidak lama lagi dia akan melepaskanmu pada pria lain," ucap Bunda yang membuatku terkekeh geli. Aku bisa membayangkan Ayah yang mendadak sentimental.

"Bima bukan hanya sekedar seorang pria lain," sahutku sambil tersenyum meski Bunda tidak melihatnya tapi aku yakin Bunda pasti bisa merasakannya.

"Ayah tahu itu, kami tahu, Ca. Kalau kami tidak yakin dengan Bima, kami tidak akan menerima niatnya untuk menikahimu. Dia pria yang baik dan yakin dia bisa menjadi imam yang baik untukmu. Kalian beruntung karena akhirnya saling menemukan satu sama lain. Doa restu kami selalu untuk kalian berdua sejak awal hubungan kalian hingga nanti. Kalian akan memulai babak baru kehidupan bersama, semakin banyak tantangan dan ujian yang akan kalian hadapi, tapi kalian saling memiliki satu sama lain. Komunikasi adalah hal yang paling penting dan kesampingkan ego kalian. Kehidupan rumah tangga tidak sama seperti saat kalian masih pacaran," ucap Bunda yang membuatku merasa terharu. Kehidupan perkawinan mereka merupakan panutanku. Aku sangat mengagumi bagaimana kedua orang tuaku yang selalu mengkomunikasikan apapun, sesuatu yang aku terkadang sulit untuk melakukannya.

"Iya, Bunda. Kami akan mengingat itu. Komunikasikan apapun berdua, cari solusi bersama, dan selesaikan bersama. Tapi, Caca boleh menghubungi kalian kalau butuh panduan, kan?"

"Tentu saja, Caca. Kami sebagai orang tua akan selalu ada untuk kamu, untuk kalian. Kami sebagai orang tua menginginkan yang terbaik untuk kalian."

"Terima kasih, Bunda, Ayah."

"Ngomong-ngomong, kamu sudah fix dengan daftar undangan? Teman-teman di kantor barumu bagaimana? Kamu undang semua atau hanya beberapa?"

Damn!

"Aku mungkin hanya akan mengundang beberapa orang, yang pastinya orang yang satu lantai denganku. Hmm Bunda ingat Tara?"

"Tara teman SMA kamu yang rumahnya dekat kita dulu?"

"Iya, aku dan Tara ternyata satu kantor. Aku dan teman-teman Tara sering makan siang bareng meski kami tidak di departemen yang sama."

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang