Chapter 22

2.2K 230 12
                                    

Hari pertama masuk sekolah setelah libur sekian lama. Upacara pertama sebagai siswa kelas XII. Aku memandang sekitar, mengamati lingkungan sekolah, barangkali saja ada yang berubah. Semua sama saja kecuali tanaman yang menjadi lebih rapi. Semua murid berbaris rapi sesuai kelas masing-masing. Pagi yang cerah untuk sebuah upacara bendera yang amanat pembina upacaranya berlangsung hampir setengah jam. Sungguh hari yang indah untuk permulaan di tahun ajaran baru.

"Kak Tara!" panggil seseorang yang membuatku berhenti dan menengok ke arah suara dan mendapati dua orang perempuan yang berjalan mendekatiku. Cindy ikut berhenti di sampingku dan sama bingungnya denganku. Aku meminta Cindy untuk jalan duluan ke kelas.

"Ada apa?" tanyaku pada mereka berdua yang kini menunduk sambil tertawa malu. Hah? Ada apa sih?

"Ini buat Kak Tara, kemarin waktu MOS tidak berani menyerahkannya karena takut disuruh membacakannya di depan kelas," ucap salah seorang dari perempuan itu. Aku menunduk sedikit untuk membaca name tag mereka, Andini dan Novi.

"Oke, terima kasih, Andini," sahutku seraya tersenyum dan mengambil surat yang Andini angsurkan padaku.

Mereka sontak tersenyum senang dan aku hanya tertawa melihatnya. Aku melambaikan surat darinya seraya melangkahkan kakiku menaiki tangga menuju kelasku di lantai dua. Aku menyimpan surat tersebut di saku seragam. Aku memang mendapat cukup banyak surat saat jadi panitia MOS kemarin dan juga tahun sebelumnya. Aku menyimpan semuanya dalam bekas kotak sepatu di kamarku.

Aku kembali ke kelas dan mendapati mereka sedang bersiap untuk penyusunan pengurus kelas. Aku tadinya tidak peduli sampai aku melihat namaku ada di barisan kandidat ketua kelas.

"Aku menolak menjadi kandidat ketua kelas," ucapku memprotes.

"Penolakan ditolak," sahut mereka serempak.

"Aku jadi sekretaris saja," ucapku mencoba bernegosiasi.

"Oke. Tara jadi sekretaris kelas," ucap Siska yang kemudian menyerahkan spidol kepadaku, "silahkan menjalankan tugas pertamamu. Bantu menuliskan susunan kepengurusan di depan," imbuhnya kemudian duduk kembali di kursinya.

Aku seketika menyesalinya. Rupanya mereka sudah memperhitungkan ini sebelumnya. Aku segera berdiri di depan papan tulis melanjutkan pekerjaan Siska yang menatapku sambil tertawa. I rolled my eyes as response to her.

***

Hari pertama sekolah dan aku diantar Papa karena aku terlambat bangun lagi. Aku lupa kalau mulai hari ini aku berangkat sekolah sendiri. Adit tidak lagi bisa mengantar jemputku sekolah seperti biasanya. Dia diterima kuliah di kampus idamannya, di luar kota. Jauh, mesti naik pesawat katanya. Jadi sekarang aku harus berangkat dan pulang sendiri. Papa mungkin bisa mengantarku, tapi nanti akan terlambat ke kantor karena dari sekolahku ke kantor Papa itu rawan macet. Mama tidak searah dengan sekolahku. Naik angkot? Astaga, aku belum pernah naik angkot. Naik ojek? Duh bisa bangkrut aku.

Aku tiba-tiba teringat Tara. Dia dulu selalu menjemputku setiap berangkat sekolah, pulang sekolah juga dengan Tara. Aku tidak pernah terlambat bangun pagi karena dia yang selalu membangunkanku. Sekarang aku membutuhkan dia.

Aku ingin bisa berteman lagi dengannya seperti dulu tapi, aku tahu rasanya itu mustahil. Aku yang dulu mengabaikan dia padahal dia yang selalu ada untukku, walau Adit juga selalu menemaniku. Hampir setiap saat aku bersama Adit saat di sekolah, bahkan hampir setiap malam juga Adit main ke rumah. Jalan-jalan tiap akhir pekan, sama seperti yang biasa aku dan Tara lakukan.

Aku tidak pernah merasa kesepian karena ada Adit meski tidak ada Tara. Terkadang aku lupa tentang Tara, apalagi kami tidak sekelas dan tidak pernah lagi komunikasi seperti dulu. Setiap malam yang menemani teleponan itu Adit meskipun dia baru saja pulang dari rumahku. Tanpa aku sadari, posisi Tara dan apa yang biasa aku lakukan dengan Tara, tergantikan oleh Adit. Tanpa aku sadari, meskipun saat Tara berdiri di depanku, aku tetap merasa dia jauh dariku.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang