Sometimes we need fantasy
To survive the realityZara Foster mengajak adiknya masuk ke toko antik kecil yang sudah menarik perhatiannya sejak lama. Di dalamnya berisikan barang-barang bersejarah yang unik. Ada guci, lukisan renaisans, pahatan patung, hingga jam saku dari ratusan tahun yang lalu.
"Selamat datang. Cari apa, nona?" tanya seorang kakek tua yang merupakan generasi kelima mewarisi toko ini.
"Lihat-lihat saja. Koleksi tokomu sangat unik."
"Wah, ini sangat bagus." Mata Emma menangkap sebuah liontin dengan batu emerald yang mengkilap. Ukurannya tidak mencolok dan tidak terlalu kecil juga. Sangat pas.
"Kamu punya selera yang bagus. Ini adalah liontin dengan batu emerald asli peninggalan seorang bangsawan." Si kakek tua mengeluarkan kalung liontin dari etalase kaca.
Zara menatapnya tak percaya. Mana mungkin barang berharga seperti ini dipajang dan dicampur begitu saja dengan yang lain. Penjual itu pasti sengaja berbohong untuk meninggikan nilai barangnya.
"Kamu suka?" tanya Zara yang memang sedang mencari hadiah untuk Emma. Adiknya baru saja diterima masuk di universitas yang sama melalui jalur beasiswa.
Emma mengangguk. "Aku sangat suka kalung ini."
"Berapa harganya?"
"Kalau kamu mau, aku berikan diskon jadi tiga ribu poundsterling saja."
"Tiga ribu poundsterling?!" Emma membelalakkan matanya dan buru-buru mengembalikan liontin itu. "Maaf tidak dulu."
Zara menelan ludah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang kuliah di Universitas Cambridge mengandalkan beasiswa. Biaya apartemen saja masih ditanggung ayahnya. Dan untuk menambah uang saku, ia bekerja part-time.
Sepertinya Zara harus mengurungkan niat membeli liontin itu untuk adiknya. Ia bisa mencari hadiah lain.
"Bagaimana dengan kalung ruby ini? Cocok dengan warna kulitmu." Kakek tua menawarkan pada Zara.
"Aku jarang pakai perhiasan."
Mereka mengamati barang yang lain. Karena banyak debu, hidung Emma yang sensitif tidak tahan dan ia bersin-bersin.
"Zara, aku keluar dulu beli minuman. Kamu mau apa?"
"Seperti biasa. Caramel macchiato. Oh ya, Em, Maaf aku tidak bisa membelikan liontin itu. Nanti kalau ada barang lain yang kamu suka, beritahu aku ya."
Emma mengelus bahu kakaknya dan tersenyum. "Tidak apa-apa. Jangan dipaksakan. Aku juga tidak terlalu suka."
Zara tahu adiknya berbohong. Emma jatuh cinta pada liontin emerald itu. Setelah ia keluar dari toko untuk membeli minuman, Zara mengalihkan perhatiannya ke rak yang berisikan buku-buku tua. Ada buku sejarah, biografi, jurnal.
Tangannya mengambil buku dengan sampul merah. Ia mengusap permukaan sampul yang terbuat dari kulit asli.
Pemilik buku jurnal ini memiliki nama depan yang sama dengannya. Isi bukunya masih kosong dengan kertas yang sudah menguning.
"Ini berapa? Aku ambil ini saja."
Ketika keluar dari toko, setitik air hujan jatuh di atas kepala Zara. Langit memang mendung sepanjang hari ini. Ia hendak mengeluarkan payung dan dari ujung matanya, ia memperhatikan dua hal.
Bus besar melaju dengan kecepatan tinggi di jalan sepi, tak menyadari kalau seorang anak kecil berlari ke tengah jalan.
Zara merespon dengan insting. Membiarkan buku yang ia dekap di lengannya terjatuh. Pikirannya hanya fokus pada keselamatan anak perempuan itu. Semuanya terjadi dalam satu kedipan mata.
Zara mendorong anak kecil itu dengan kedua tangannya ke sisi jalan karena ia tahu ia tak akan sempat menggapainya.
Supir bus yang mengantuk seketika panik, menginjak rem, namun bagian depan bus terlanjur menghantam tubuh Zara dan gadis itu terpental sejauh beberapa meter.
Hujan mulai turun dengan deras membasahi jalan beraspal. Aneh... Zara tidak merasa sakit sama sekali. Ia membuka kedua matanya dan tertegun.
"Aku... sudah meninggal," ucap Zara pasrah ketika melihat tubuhnya sendiri bergenangkan darah yang mengucur keluar dari kepalanya.
Organ-organ di dalam tubuhnya juga pasti hancur dihantam oleh kendaraan sebesar itu.
Setidaknya pengorbanan Zara berhasil menyelamatkan anak kecil itu. Hati Zara lega melihat ia sudah berada dalam dekapan ibunya.
Tunggu! Ia belum mau mati. Ia belum membeli hadiah untuk Emma.
Zara mencoba menggapai tubuhnya. Namun ia ditarik menjauh. Semakin tinggi ke atas langit dengan sinar putih yang menuntun jalannya ke atas.
Apakah hidupnya harus berakhir seperti ini? Tanpa kata-kata terakhir untuk orang yang ia cintai?
Di sisi lain, kumpulan para malaikat menyaksikan semuanya. Merasa sedih karena Zara Foster yang berhati baik, harus meninggal di usia 20 tahun.
Tiba-tiba salah satu malaikat mendapat ide cemerlang ketika melihat nama yang tertera di sampul buku merah yang tergeletak di pinggir jalan.
"Kalian ingat dengan Zara Sherrington?"
"Ah, ya. Siapa yang bisa lupa dengan wanita berhati iblis itu? Dia sedang merasakan siksaan di neraka."
"Aku membuat kesalahan. Dia tak seharusnya mati saat melompat dari jembatan."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku akan memperbaiki kesalahan beratus-ratus tahun yang lalu."
Setelah berkata seperti itu, sang malaikat meminta ijin pada Yang Maha Kuasa dan disetujui dengan senyuman.
✧ ✧ ✧
Dapat rekomendasi cerita ini dari mana?
Kalau suka cerita fiksi sejarah + romance (dengan sedikit sentuhan fantasi) yuk lanjuttt ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Becoming A Duchess
Historical FictionZara Foster, mahasiswi Ilmu Sejarah yang meninggal karena menyelamatkan seorang anak kecil, tiba-tiba terbangun sebagai Duchess Griffin di abad ke-19. Menjadi seorang Duchess ternyata penuh tantangan. Apalagi suaminya merupakan pria tampan dengan ha...