BAB 08

1.6K 198 7
                                    

LELAKI itu diam seribu bahasa, membuat yang satunya menghela napas panjang. Beranjak dari tempat duduk nya. Perbincangan memang belum selesai, mengabaikan aksi komedi putar yang menjadi tontonan mereka saat ini.

Jaemin menepuk bahu Jeno pelan. "Pulang yuk? Kayaknya nanti bakalan hujan" pungkas Jaemin, menyoroti langit yang tiba-tiba saja mendung.

Jeno berdiri dari tempat duduknya, mengikuti langkah Na Jaemin dari belakang. Sekitar tiga meter ia menjaga jarak.

Bukan kah main main adalah tujuan nya? Lantas kenapa dia merasa takut setelah kekasihnya ; Jaemin mengetahui kebenaran tentang hal tersebut?

"Na aku serius!" Seru lelaki tinggi itu.

Jaemin menghentikan langkah dan menoleh ke arah nya, kedua alis yang menaungi mata nya bertemu samar. "serius tentang apa?" Tanyanya. "Tentang kamu yang main-main sama aku?" Sambungnya cepat.

"Serius" Jeno melangkah untuk mendekati Jaemin. Memegang kedua bahu sempit kekasihnya, menatap lekat manik coklat yang meredup di hadapannya. Tidak ada lagi sesi tawa, tidak ada lagi manik binar yang ia dapat. Jeno hanya melihat keterdiaman dari wajah cantik itu yang kebingungan.

Helaan napas panjang terdengar samar, udara semakin dingin. Angin sore terlalu abai akan keduanya. "Iya aku ngaku. Awalnya emang gitu, tapi sekarang aku serius"

"Aku sayang kamu" pungkas Jeno meyakinkan perihal perasaan nya sendiri. "Aku mau kamu bahagia"

"Hidup nggak sesederhana itu Jen"

"Aku tau, setiap orang berhak punya kesempatan kedua kan?" Onyx hitam miliknya mencoba untuk terjun pada bola coklat yang ada di depannya.

"Bahkan orang yang main-main sekalipun?" Jaemin tergelak. "Udah ah, aku mau pulang. Dingin" lanjut Jaemin.

Jeno cuma dapat mengangguk dan mengikuti permintaan kekasihnya. Apa status itu masih berhak ia banggakan?

Daerah Lembang, turun hujan sore itu. Menenggelamkan hening yang beberapa waktu lalu menyelimuti keduanya. Gemirincik air hujan bagai irama bumi yang menenangkan, juga mengejek kencan gagal mereka.

Tangan itu tidak melingkar lagi di perutnya, memilih untuk mengepal di kedua sisi kaki nya. Tidak ada lagi pelukan yang menghangat tubuh keduanya, hanya ada jarak kosong yang mengintai di tengah mereka.

Perlukah Jeno berbicara? Bahwa jalan menanjak yang licin dapat membuatnya terjatuh kapan saja?

Jaemin yang tanpa sadar, melingkarkan kembali tangan nya seperti biasa. Membenamkan wajah lelahnya pada punggung lebar milik Jeno.

"Na—"

"Aku tau mungkin kamu bingung soal aku yang tau dari mana, atau dari siapa sekalipun. Aku ngerasain sendiri" ujar Jaemin yang hampir tersamarkan oleh suara ribut hujan.

"Maaf, tapi kali ini aku serius. Aku cinta kamu Jaemin" pungkas Jeno, mengusap kedua tangan Jaemin yang melingkar pada perutnya. "Aku sayang kamu" lagi, ia mengatakan hal itu.

Jaemin tersenyum, mengangguk sebagai respon. "Terimakasih"

Deras hujan mengetuk jendela kamarnya, bersamaan dengan sahutan petir di ujung sana. Di kamar yang tak begitu luas itu Jeno terdiam sembari merutuki diri sendiri dengan sumpah serapah yang tertinggal. Dalam hati ia menyesal, mengapa bisa waktu itu terlintas di benaknya untuk mempermainkan hati seseorang, tak serta merta malah ia sendiri yang terpelosok kedalam jurang yang ia sediakan sendiri.

Ponselnya bergetar menari di sebelah asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok. Di liriknya layar telepon, dengan nama Nana yang tertera, jangan lupakan emotikon konyol yang ia pajang untuk menghiasi sebuah nama kontak dari si cantik. Ialah satu nama yang mampu menghancurkan pondasi pertahanannya, ialah orang yang datang pada bulan April, bulan kelahirannya.

[ ✔ ] Bumi Selatan ; nominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang