03. Dua Puluh Tiga [End]🦊

397 40 37
                                    

💎Happy reading💎

Fero tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Hal pertama yang dapat ia rasakan adalah pening di kepala juga pandangan mata yang masih kabur.

Perlahan, lelaki itu bangkit dari tidurnya. Mengucek mata sebentar, Fero mulai bisa melihat banyak tubuh terkapar.

"Kakak!" Fero tersentak saat mengingat kembali apa yang terjadi sebelum ia terlelap. Fero masih bisa menyaksikan bagaimana tubuh Fazor mundur perlahan saat melihat Akira berubah di depan mata. Fero juga masih sadar saat Akira melewatinya bukan dengan wujud manusia, tapi dalam wujud serigala.

Sebenarnya Fero ingin pergi dari sini. Pergi mencari Akira yang mungkin dalam keadaan genting antara hidup dan mati. Sialnya tubuh Fero terasa lelah luar biasa. Wajah bocah itu sangat pucat seperti tak memiliki darah. Alhasil, Fero kembari merebah, mengamati pagar rumah Fazor dengan seksama. Berharap sebentar lagi Akira datang untuk menjemputnya. Berkata kalau ia baru saja membunuh Fazor dan Selatan akan menjadi milik mereka.

Namun, beberapa menit berlalu, tak ada yang muncul dari sana. Baik Akira mau pun Fazor tidak ada yang kembali ke sini hanya sekedar untuk mengechek orang yang mereka tinggalkan sebelumnya. Padahal di atas sana, langit perlahan mulai memerah. Pertanda senja sudah tiba. Pertanda sebentar lagi malam akan segera menyapa.

"Kak, aku ingin pulang," lirih Fero pada udara hampa di hadapan.

Sampai akhirnya bunyi langkah kaki yang terdengar diseret sampai ke telinga. Buru-buru Fero memusatkan fokusnya ke sana. Sembari berharap yang datang adalah Akira. Dan sepertinya harap Fero didengar oleh semesta.

Di ujung sana, ada Akira dengan sekujur tubuh penuh luka. Bahkan Fero yakin tak sampai seperempat tubuhnya yang tak berlumuran darah. Kaki kanan lelaki itu ia seret sekuat tenaga. Fero tebak, kaki kanan kakaknya patah.

Fero bangkit dari posisinya. Kendati tubuh masih lemah, Fero masih terus melangkah menyusuri Akira yang tertatih berjalan ke arahnya. Sampai satu langkah di hadapan Akira, tubuh Akira ambruk dan Fero begitu saja langsung menangkapnya.

"Kakak, bertahanlah!" pinta Fero, walau ia tak yakin Akira bisa membuka mata dua menit berikutnya.

"Fero ... kita menang," ujar Akira benar-benar lirih. Fero bahkan nyaris tak mendengarnya.

"Syukurlah!" balas Fero dengan mata berkaca-kaca. Akira pulang ke dalam pelukannya seperti sekarang saja sudah membuat Fero bahagia.

Fero sama sekali tidak ingin tahu bagaimana pertarungan Fazor dengan kakaknya. Karena keinginan Fero hanya Akira kembali dalam keadaan masih bernyawa.

"Kak, ayo pulang," ajak Fero.

"Pulang?" tanya Akira, pelan sekali.

"Iya. Pulang ke rumah kita."

Akira tahu rumah yang Fero maksud bukan rumah yang masih berdiri kokoh di Utara, tapi rumah yang dulu pernah mereka tinggali bersama ibu dan juga ayah. Rumah yang ayah bangun dengan susah payah. Rumah yang sekarang mungkin sudah lapuk atau bahkan mungkin sudah rata dengan tanah.

Rumah yang dulu punya banyak kisah bahagia di dalamnya. Sebelum kemudian Fazor datang dan merampas bahagia yang mereka punya. Sama seperti Fero, Akira juga ingin kembali ke sana. Akira ingin melihat bagaimana kini rumah itu setelah lebih dari dua tahun ditinggal pemiliknya.

Akira mengangguk saja, walau sebenarnya ia tak bisa lagi menggerakkan tubuhnya. Seluruh tubuh Akira mati rasa, darah yang terus bercucuran dari tubuhnya bahkan tak lagi bisa Akira katakan bagaimana rasanya. Sampai saat Fero berjongkok di depannya dengan sempurna, Akira mulai tak mengerti jalan pikir adiknya.

Half BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang