Dua🦊

893 96 61
                                    

💎Happy reading💎

Dua hari semenjak kejadian itu, hidup Akira benar-benar penuh derita. Tinggal di sebuah rumah kecil yang atapnya bolong di mana-mana, rumah kecil berlantaikan tanah, bahkan dindingnya saja Akira yakin akan roboh dalam beberapa kali pukulan saja. Namun, Akira masih bersyukur karena ia masih memiliki nyawa. Yang harus Akira lakukan saat ini hanya berusaha untuk terus bertahan hidup, itu saja.

Bagi Akira, dunia ini adalah penjara. Setidaknya pemikiran itu berlaku semenjak dua hari yang lalu. Rasanya untuk makan saja susah. Tadi malam Akira bahkan terpaksa mencuri ubi di ladang milik tetangga. Akira kelaparan dan ia benar-benar hanya bisa mencuri saja. Bahkan untuk bekerja saja Akira tak bisa. Pasalnya tubuh Akira saja tak meyakinkan. Akira memiliki kulit putih pucat yang begitu mencolok mata. Membuat ia terlihat begitu lemah. Padahal tak begitu adanya, tapi orang-orang di sana tak ada yang percaya. Mereka semua mengatakan kalau Akira pasti tak bisa melakukan apa-apa.

Sedangkan Fero hanya bisa berdiam diri di dalam rumah saja. Menuruti apa saja yang Akira perintah. Kalau Akira menyuruhnya untuk tidur siang---yang biasanya tak pernah Fero suka, Fero hanya bisa menurutinya saja. Karena Fero yakin, semua yang Akira perintahkan adalah untuk kebaikannya. Akira 'kan sayang kepada Fero. Iya ... itu semua hanya menurut Fero saja. Padahal saat ini Akira begitu membencinya.

"Kak! Ayo cari Pemilik Jiwa Tak Sempurna. Ayah suruh kita mencarinya 'kan?" ujar Fero sambil memperhatikan Akira yang sibuk mengupas ubi yang masih tersisa.

Pergerakan Akira sempat terhenti beberapa detik, kemudian kembali melanjutkan tanpa melirik Sang Adik. Mendengar suara Fero rasanya membuat ia terluka. Fero mengingatkan Akira pada ayah yang melenyapkan nyawa ibunya.

"Kau gila? Aku sudah bilang 'kan kalau aku benci serigala. Untuk apa mencari dia? Kalau bertemu dia, aku akan membunuhnya. Itu yang kau mau?"

"A--ah, maaf, Kak. Tapi ... serigala itu tidak melakukan apa-apa 'kan? Dia bahkan tak tahu apa yang terjadi sama keluarga kita."

"Diam! Kau itu juga serigala. Aku bisa membunuhmu kapan saja."

Bukannya takut, Fero justru tersenyum di tempatnya. Sepertinya dua hari tanpa orang tua sudah membuat Fero terbiasa. Sepertinya kata-kata kasar dari Akira sudah tak berefek apa-apa padanya. Karena Fero yakin, kakaknya hanya bercanda. Tak mungkin Akira ingin membunuhnya. Selama ini 'kan Akira yang selalu menjaganya.

"Iya ... Kakak bisa membunuhku kapan saja, tapi Kakak tak pernah benar-benar melakukannya. Aku tahu, Kakak hanya bercanda. Nanti---"

Perkataan Fero terhenti begitu saja. Tepat saat sebuah tangan kotor itu mendarat di pipi kirinya. Rasa panasnya bahkan bisa Fero rasa sampai ke dada. Akira menamparnya, ya? Ah, jadi seperti ini rasanya.

"Kalau disuruh diam, ya kau harus diam. Kenapa masih bicara? Kau tuli, ya?!"

Seketika cairan bening itu menumpuk di kelopak mata, untuk kemudian jatuh ke tanah. Fero bahkan sampai lupa untuk menghela udara. Fero kaget, tentu saja. Karena ini adalah tamparan pertama dari Akira.

"Sakit?" tanya Akira.

"K--Kak. Umur sembilan tahun itu masih kecil, ya? Iya ... kalau itu umur manusia, tapi kalau umur serigala?"

"Maksudmu, apa?"

Fero seketika mengatur jarak dari kakaknya. Mengelap air mata di kedua pipinya. Untuk kemudian mengatur udara yang masuk ke paru-paru. Setelahnya ia menempelkan tangan kanan ke atas batu.

Sosok bocah kecil itu perlahan berubah. Menampakkan bulu-bulu putih yang begitu indah. Kemudian memamerkan taring panjangnya ke arah Akira yang tampak membulatkan mata. Dalam wujud serigalanya, Fero terlihat jauh lebih berkharisma. Seolah wujud manusianya adalah sosok yang sudah remaja. Padahal  ia masih bocah yang masih belum bisa tidur sendiri. Padahal ia masih bocah yang suka menangis saat ada bagian tubuhnya yang terluka. Akan tetapi, dalam wujud serigalanya lain cerita.

Half BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang