1

931 50 2
                                    

Menurut kalian, apa, sih, yang membuat masa SMA dikatakan masa yang paling indah selama dua belas tahun menjadi pelajar?

Atau, aku ganti pertanyaannya. Memangnya benar masa SMA itu masa yang paling indah?

Entahlah, aku juga tidak tahu jawabannya. Andai itu tercantum di buku teori, mungkin aku bisa sedikit menjawabnya. Sedangkan, jawaban pertanyaan tadi terlalu abstrak, 'kan? Sebab, berdasarkan sudut pandang masing-masing orang tentu berbeda, tergantung bagaimana cara menyikapinya saja.

Namun, jika boleh menjawab, mungkin pernyataan bahwa masa SMA itu masa yang paling indah ... bisa dibenarkan---mungkin.

"WOI, YEGA! MINGGIR!!" atau mungkin memang bukan masa yang paling indah.

BUGH!!!

"AISH!" Aku mendengkus sembari mengusap kepalaku yang menjadi landasan mendarat bola berwarna oren itu.

"HAYOLOOOO KENA YEGA!!!"

"MAMPUS! AUTO PERANG DUNIA KETIGA MELETUS!!!"

"GUE ENGGAK IKUTAN, CABUT!"

Terdengar suara-suara minus akhlak masuk ke telingaku. Dan, aku juga membenci situasi ini. Biasanya scene seperti ini sering muncul di novel atau drama anak sekolahan, yang mana kisah cinta bermula dari kegebok bola basket. Mungkin bagi para remaja di luar sana itu hal yang indah dan membuat melting, tapi bagiku itu adalah hal yang---ah, membayangkannya saja sudah membuatku ingin tepuk jidat dan lantai bergantian sambil mengucapkan, 'amit-amit jabang bayi'.

"Sorry, bolanya nggak kenapa-napa, 'kan?"

Beritahu aku kalau aku tak salah dengar. Aku menatap wajah si pemilik suara, menahan sumpah serapah yang ingin kulontarkan begitu saja saat ini.

"Makanya, kalau jalan, tuh, lewat koridor. Siapa suruh lewat pinggir lapangan?"

Tak tertarik menanggapi, aku memilih melanjutkan jalan menuju papan mading, sebelum aku kena ceramah berkepanjangan dari Pak Kadrun karena telat memasang pengumuman. Sebenarnya, pengumuman tak genting-genting amat, ya, tetapi kalau tak riweuh pasti bukan Pak Kadrun namanya.

"DINGIN BANGET COY!!!"

"BEUH, PARAH, SAY!!! KULKAS GUE AJA KALAH!"

"CEWEK, SENYUM, KEK!!!"

Palakau kulkas. Aku menggerutu dalam hati, malas menanggapi langsung karena enggan berdebat. Apalagi, hanya masalah sepele, hanya membuang-buang waktu saja. Huft!

Setelah menempelkan dua lembar kertas tersebut ke mading, aku berjalan kembali ke kelas---dan lagi, melewati pinggir lapangan.

"Mbak, esnya dua, yang dingin, ya. Yang cair cukup hati aku melihat senyumanmu!"

"Yeeeh, modus lo, Chan! Lagian nggak bakal mempan juga dia, cuk!"

"Coba-coba berhadiah, Le. Nggak ada yang tau jodoh orang siapa, 'kan?"

Sungguh, ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka sampah dari tong. Tak habis pikir, otak mereka terbuat dari apa, sih?

Sepertinya, saat pembagian otak, mereka datang terlambat sehingga hanya mendapat sebagian kecil adonan. Kasian ... pantas mulutnya tak bisa direm.

Tak lama, bel sekolah berbunyi, berbarengan dengan suara Pak Kadrun menggema di seluruh penjuru sekolah---sudah suara seperti toa, ditambah berbicara menggunakan mikrofon---oke, tak usah dibayangkan.

"Saya tunggu lima menit untuk berbaris rapi. Lebih dari itu, silakan berbaris di sayap kiri dan menerima hadiah spesial dari saya setelah upacara," kata Pak Kadrun. "Yang atributnya nggak lengkap, juga berbaris di sayap kiri."

Terasak | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang