"Lo nggak capek apa?"
Aku berbalik, menatapnya yang sedang terengah-engah dengan tangan tertumpu pada lututnya. "Lo balik duluan aja. Kan, udah gue bilang daritadi."
Hari ini adalah hari ketiga liburan semester, aku memutuskan untuk survei venue acara Smanphoria, menggantikan divisi logistik yang kebetulan memiliki rencana liburan. Namun, mereka tetap bekerja dengan memberiku list lokasi-lokasi yang sesuai dengan kriteria acara, sehingga diriku hanya tinggal survei lapangan saja.
Renji---ah, maksudku Renjun---laki-laki itu menawarkan diri untuk menemaniku. Sudah lima tempat yang kami survei hingga kini---tentu saja cepat karena sedari tadi diriku tak mengambil waktu istirahat.
"Udah sore juga. Udahan, yuk. Lanjut besok, kayak nggak ada hari lain aja." Dia masih sibuk mengomel.
Tak menggoyahkanku, aku memutuskan untuk melanjutkan berjalan ke halte trans ibukota, menunggu bis ke lokasi tujuan datang. Takjub dengan tekadnya, kini laki-laki itupun juga ikut duduk di sebelahku. "Gue kira lo balik."
"Ya, kali gue ninggalin patner gue sendiri."
Aku terkekeh geli. "Omongan lo patner, tapi baru segini aja udah protes mulu."
"Ya, gimana nggak protes? Harusnya lo setuju pas gue ajak naik mobil gue."
"Lo belom punya SIM mobil."
"Naik motor, 'kan, bisa. Gue punya SIM motor."
"Tapi, tadi lo cuman nawarin mobil."
"Ya, tapi ... ah, capek ngomong sama lo." Dia pun menyandarkan tubuhnya ke sandaran, melipat tangannya di depan dada, kemudian memejamkan matanya.
Aku paham dirinya lelah. Tampak jelas dia tak terbiasa menggunakan transportasi umum, melihat dirinya masih bingung saat pertama menggunakan kartu flazz di stasiun dan halte trans.
"Lagian kalo naik motor juga buang-buang bensin. Sayang ongkos."
Dia membuka matanya. "Tapi, kan, nggak capek."
"Kata siapa nggak capek?"
"Kata guelah." Aku tahu, di balik masker hitamnya, kini dia tengah mengerucutka bibirnya dan sibuk ngedumel melampiaskan kekesalannya.
Tiga puluh menit kemudian, bis trans belum juga datang, tidak seperti biasanya. Mungkin karena jalanan ibukota yang padat karena jam pulang kerja. Namun, bis trans, kan, memiliki jalur sendiri. Masa iya terjebak macet selama itu?
Tiba-tiba, aku merasa lapar. Aku menoleh ke laki-laki di sebelahku, dia tampaknya ketiduran saat mengomel sendiri. Aku mengguncangkan tubuhnya, membangunkannya.
"Hah? Apa?" Dia terkejut khas bangun tidur.
"Ikut gue."
"Nggak naik bis?"
"Jalan kaki."
"Sampe rumah?"
"Iya," jawabku, lalu berdiri meninggalkan halte.
Sepanjang perjalanan, dia mengomel dengan dirinya sendiri---lagi. Sungguh, ini pertama kalinya aku bertemu orang yang kesabarannya sangat tipis sekali. Namun, itu yang menjadikan survei kali ini tidak monoton, sedikit banyak itu menghiburku.
Aku pun masuk ke salah satu tenda pecel lele, kemudian memesan satu porsi lele. "Lo mau apa?"
"Samain aja."
Setelah memesan, kami pun mengambil duduk. Tenda tak terlalu ramai, mungkin karena belum mendekati jam makan malam.
"Gue kira lo nggak bisa ngerasa laper."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terasak | Renjun NCT [END]
FanfictionBukan kisah yang menarik, apalagi istimewa. Melainkan, hanya sebuah cerita bagaimana mencairkan hati yang beku dan menjaga hati yang terluka. *** [22620]