4

189 29 0
                                    

Setelah memarkirkan motor, aku langsung bergegas menuju kelasku. Ah, ya, motorku sudah kuambil ke bengkel kemarin sore. Elang, laki-laki itu yang membantu mengurus semua perbaikan motorku. Katanya, hitung-hitung sebagai perbuatan baik-baik di detik-detik terakhir. Aku tertawa, Elang berbicara seolah kematian akan segera menjemput salah satu dari kami.

Namun, baru saja aku menginjakkan kaki di ubin pertama lorong sekolah, aku menyadari sesuatu yang tak biasa, semua sorot mata kini tertuju padaku. Ya, memang aku sudah terbiasa berjalan diiringi lirikan mata para manusia ini. Namun, kali ini tatapannya berbeda dari biasanya.

Tak menghiraukannya, aku memutuskan untuk berjalan dengan santai menuju kelasku. Toh, paling hanya gosip hoax tentangku, yang membuat reputasiku turun, seperti yang sering kita temukan di konflik novel romansa remaja.

Tiba-tiba, aku merasakan ponselku berdering, langsung kuangkat setelah melihat nama penelepon. "Iya, Lang?"

"Ke aula sekarang! Cepetan, nggak pake lama!" Setelahnya, laki-laki itu langsung memutuskan panggilan begitu saja.

Tanpa menaruh tasku terlebih dahulu, aku langsung menuju aula, seperti yang diminta oleh Elang. Sebenarnya, ini adalah tempat yang sangat kuhindari hari ini.

Biasanya aku selalu tiba di sekolah saat masih sepi, bahkan pernah gerbang masih dikunci aku sudah datang. Sedangkan, hari ini aku sengaja berangkat agak kesiangan, hendak menghindar dari acara hari ini.

Ya, walaupun aku memang tak peduli dan tak mempermasalahkan tidak adanya calon pengganti Elang, tetap saja aku malas harus berpidato dan menggembar-gemborkan semua warga sekolah dengan janji-janji bahwa aku bisa menjalankan sisa periode sendiri dengan baik. Tentu saja ini idenya Pak Kadrun, beliau menyulap aula secara dadakan menjadi panggung forum.

Setelah tiba di aula, betapa terkejutnya diriku karena aula ramai sekali. Para siswa-siswi yang di luar juga mulai memasuki aula. Sangat tidak normal karena saat debat pemilihan Ketua OSIS kemarin saja, yang menjadi penonton bisa dihitung dengan jari.

Seketika, perasaan tidak enak mulai menyelimuti tubuhku. Semoga bukan hal buruk.

"Ga, tumben siang banget, sih? Gue pusing dengerin ocehan Pak Kadrun karena lo nggak dateng-dateng. Padahal, gue udah mau pensiun, loh." Melihatku planga-plongo di pintu aula, Elang langsung menghampiriku dan menyemburkan omelannya. Sebenarnya, dia sama saja sebelas duabelas dengan Pak Kadrun, hanya saja masing-masing denial akan fakta tersebut.

Aku berdeham, tak tertarik menanggapi ocehannya. Diriku masih sibuk memikirkan kemungkinan hal buruk apa yang akan segera datang padaku. Feeling-ku tak pernah salah.

"Lo udah siapin bahan bicaranya, 'kan?" Elang memastikan.

Tentu saja aku menggeleng. Aku baru tahu informasi akan digelarnya acara ini subuh tadi, saat aku memeriksa ponselku saat bangun dan langsung dibanjiri pesan dari Pak Kadrun. "Spontan aja."

"Uhuy!" sahut Juan yang baru saja bergabung dengan kami. "Ga, lo percaya keajaiban, nggak?"

Tentu saja aku menggeleng. Takhayul seperti itu untuk apa dipercayai?

"Ya, elah. Harusnya lo jawab 'iya'. Terus lo nanya, 'emang keajaiban apa, Ju?'. Nah, baru, deh, gue jawab. Siapa tahu nanti di tengah-tengah lo pidato, tiba-tiba ada orang yang ngajuin diri, 'saya yang akan maju mencalonkan diri menjadi wakil Yega'. Gila, keren, coi!"

Elang menoyor Juan. "Lo kira ini film superhero apa? Nggak usah aneh-aneh, deh. Kaga ada yang namanya pahlawan kesiangan di jaman sekarang."

"Yeh. Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Brodie. Lagian, alasan acara ini digelar karena---"

Terasak | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang