Aku baru saja kembali dari beres-beres venue. Sudah malam hari dan hari ini aku mengambil cuti kerja. Untungnya, bosku mengijinkan karena paham bahwa diriku butuh istirahat setelah acara Smanphoria kemarin.
Beruntungnya lagi, hari ini aku tidak bertemu Renjun karena katanya dia ada urusan keluarga---mungkin mempersiapkan tunangannya. Ya, setidaknya hari ini aku tak bertemu dia dan mood-ku tetap terjaga, walaupun aslinya sangat hancur lebur.
Rumahku saat ini kosong. Ibu masih menemani ayah cuci darah. Hari ini, beliau mendapat jadwal cuci darah malam hari, pindah jadwal karena alasan yang aku tak tahu. Nanti coba kutanyakan saat Ibu pulang. Tolong ingatkan aku.
Aku pun berjalan menuju kamarku, merebahkan tubuhku, melepas penat yang datang bertubi-tubi.
Diriku merasa deja vù, pernah mengalami sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Tiba-tiba aku teringat dengan undangan yang kemarin katanya sudah dikirimkan ke rumahku. Aku berjalan keluar, memeriksa kotak pos yang ada di gerbang rumah. Dan, benar saja ada undangan yang terbungkus plastik.
Aku membukanya. Tanpa melihat dalamnya, sebenarnya aku sudah tahu bahwa itu benar undangan pertunangan gadis itu dan Renjun. Namun, aku tetap ingin memeriksa isinya.
Minggu depan.
Pertunangan itu dilangsungkan minggu depan.
Aku bimbang, apakah aku harus datang ke sana atau tidak. Namun, aku sadar bahwa aku sudah beranjak dewasa. Diriku tak bisa terus menghindar di balik tameng 'terluka', aku harus menghadapi kenyataan ini.
Diriku pun mengeluarkan ponsel, menelepon Juan, hendak mengajaknya menemaniku pergi. Namun, sayang, Juan sudah ada acara lain---ya, biasalah, janji dengan Farah dan aku tak mau merusak momen manis mereka.
Aku pun duduk di teras rumahku, berpikir hendak siapa yang kuajak menemaniku. Andai kata Elang masih di sini, sudah pasti aku akan mengajak Elang dan tentu saja laki-laki itu pasti mau menemaniku asalkan dia senggang.
Ngomong-ngomong soal Elang, aku jadi teringat dengan Haechan. Aku pun buru-buru masuk ke dalam rumah, memakai jaket dan helmku, kemudian melajukan motorku menuju minimarket tempat beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan laki-laki itu.
Sekarang baru pukul sembilan malam, seharusnya dia masih dalam jam shift. Secepat kilat, aku pun segera memarkirkan motorku setelah sampai, melepas helm dan masuk ke dalam minimarket.
Hatiku mencelos ketika melihat yang berada di kasir bukan laki-laki yang kucari. Menghela napas, aku pun berjalan ke mesin pendingin, hendak membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikiranku sejenak.
Namun, sepertinya semesta sedang berpihak padaku. Diriku melihat laki-laki itu sedang menata minuman di kulkas.
"Haechan."
Dia menoleh, tampak terkejut melihatku. "Lo pasti sengaja dateng ke sini, kan?"
Aku mengangguk. "Kok tau?"
"Ya, mana ada orang yang deket rumahnya aja banyak minimarket, malah jauh-jauh dateng ke sini," jawabnya sambil kembali bergerak menata minuman. Sepertinya sedang menyortir minuman yang sudah berkedaluwarsa dekat.
Tanganku pun bergerak membantunya, tetapi dia menahanku. "Duduk aja sana. Nanti, habis kelar ini gue samperin lo."
Aku hanya mengangguk, kemudian menunggunya seperti yang laki-laki itu minta.
Tak lama, dia pun duduk di seberangku, menyerahkan sekotak susu padaku. "Susu bagus buat cewek yang dateng malem-malem dan jauh-jauh ke minimarket buat ketemu gue. Untung aja hari ini sepi, jadinya lo nggak perlu nunggu ampe gue kelar shift."
Aku terkekeh, menerimanya. "Makasih."
"Kenapa lo ke sini? Nggak mungkin buat nembak gue, kan?"
Sontak, aku tertawa kecil dan menggeleng.
"Baguslah. Gue masih mau hidup tenang," ucapnya. "Terus kenapa lo ke sini?"
"Lo dapet undangan?"
Dia menatapku heran. "Undangan apaan?"
"Undangan yang ada nama Renjun disampulnya."
Haechan menggeleng. "Undangan apa, sih?"
Saat itu juga, aku menyimpulkan satu hal bahwa Renjun menyembunyikan fakta bahwa dia akan bertunangan dari teman-temannya.
"Lo mau nemenin gue?"
"Nemenin apa?" tanyanya. "Ngomong jangan sepotong-sepotong napa. Langsung aja terabas kayak kereta."
Aku menarik napas sejenak, berusaha tetap tegar untuk mengatakan ini. "Nemenin gue dateng ke acara minggu depan."
Dia menyerngit. "Kenapa nggak ajak Renjun?"
"Lo wakilin Elang, pengganti Elang yang mungkin saat ini kalau dia di sini, dia yang nemenin gue dateng ke acara ini." Dalam hati, aku meminta maaf pada Elang yang sudah membawa-bawa nama dia dalam upaya membujuk adik angkatnya ini.
"Harus banget gue?" Dia memastikan dan aku mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi, minggu depan, tuh, gue ada tiga kencan. Sibuk, nih, gue."
Aku mencibir. "Nggak bisa ditunda?"
"Bisa, terpaksa," jawabnya. "Karena lo bawa-bawa Elang, gue jadi nggak punya alasan yang lebih kuat buat nolak."
"Bener, ya?" Kuyakin, saat ini mataku berbinar, senang karena aku tak akan sendirian dalam upaya menghadapi neraka dunia di acara minggu depan.
"Iya," ucapnya. "Emang acara apa, sih?"
"Lo beneran nggak tau?" Aku memastikan kembali.
"Acaranya Renjun? Sweet seventeen? Tapi, kan, dia udah punya KTP."
Benar, sepertinya Renjun tak memberitahu pada Haechan dan juga teman-temannya. Sepertinya dia memang merahasiakannya, tak ingin seorang pun tahu.
"Janji, jangan bilang ke siapapun, termasuk temen-temen lo dan Renjun."
Dia mengangguk. "Iya, gue bakal jaga rahasia. Aman semua rahasia sama gue."
"Jaminannya?"
"Diri gue sendiri."
Aku penasaran ketika mendengarnya. "Kenapa jaminannya selalu diri lo sendiri, sih?"
"Ya, masa gue mau jadiin Pak Kadrun jadi jaminan?"
Tertawa. Aku bersyukur karena semesta mempertemukan Haechan denganku, setidaknya laki-laki ini bisa membawa happy vibes di tengah keporak-porandaan hatiku.
Aku pun nengeluarkan ponselku, mencari gambar undangan yang tadi sempat kufoto sebelum pergi. Setelah itu, aku menyerahkan ponselku padanya.
Dia hendak menerimanya. Namun, aku tarik sesaat ponselku. "Bener, ya, jangan kasih tahu siapa-siapa?"
"Iya, Yega. Apa perlu gue tanda tangan juga di atas materai?" Dia tampak frustasi karena susah meyakinkanku untuk percaya padanya.
"Boleh kalau perlu."
Dia mendengkus. "Gue beneran nggak bakal ngasih tau ke siapapun Yega. Walaupun itu ada sangkut pautnya sama Renjun---pasti---gue nggak akan bilang ke dia. Karena gue udah janji sama lo. Cuman laki-laki pengecut yang mengingkari janji yang dia buat sendiri."
Aku pun berusaha untuk mempercayainya. Setidaknya, sebagai balasan karena dia bersedia menemani diriku ke acara ini. Tanpanya, mungkin aku benar-benar akan menghindar terus dan langsung membakar undangan ini ketika pulang nanti.
Dia mengambil ponselku, kemudian melihat gambar yang ada pada layar. Sejurus kemudian, aku bisa merasakan perubahan raut wajahnya.
Dia menatapku tak percaya. "Ini betulan?"
Kalau boleh jujur, sampai saat ini aku belum memercayai fakta tersebut juga. Maka dari itu, minggu depan aku harus memastikan dengan mata kepalaku sendiri.
Walaupun ada konsekuensinya.
Ketika kita memutuskan untuk mengetahui fakta sebuah kejadian, maka kita sudah siap dengan rasa sakit yang akan muncul saat tahu. Persis dengan jatuh cinta yang sudah siap sakit jika ingin merasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terasak | Renjun NCT [END]
FanfictionBukan kisah yang menarik, apalagi istimewa. Melainkan, hanya sebuah cerita bagaimana mencairkan hati yang beku dan menjaga hati yang terluka. *** [22620]