Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa kini aku sudah menjadi siswi tingkat akhir di SMA. Dan, kini sudah bulan September, yang berarti sudah tinggal sekitar dua minggu lagi Smanphoria dilangsungkan.
Selama tiga bulan belakangan ini, tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan, hanya kesibukan OSIS untuk acara Smanphoria yang sempat bentrok dengan mengurus masa orientasi siswa baru, membuat persiapan pending sejenak. Dan, kini sudah tinggal dua minggu lagi, membuat seluruh panitia seperti dikejar-kejar Belanda.
Ah, ya. Laki-laki itu---wakilku---dia berkembang cukup pesat. Kini, dia sudah bisa meng-handle tugasnya sebagai bendahara sendiri tanpa bantuanku. Sebagai wakilku pun, dia juga benar-benar menjalankan tugasnya dengan sangat maksimal, bahkan terkadang dia yang mengambil alih rapat. Tanpa kusadari, aku sudah terbiasa dengan wakilku yang bukan Elang.
"Gue tau gue ganteng, nggak perlu sampe diliatin segitunya."
Perkataan laki-laki itu menyadarkan lamunanku. "Hah? Gimana anggarannya?"
"Masih aman, sih. Karena udah ada pemasukkan dari tiket penonton dan open tenant, jadi sedikit banyak udah mulai nutupin minus kemarin," jawabnya.
Ya, anggaran kami sempat mengalami minus karena pembengkakkan pengeluaran setelah membayar guest stars dengan dana yang masih bisa dibilang cukup minim. Walaupun sudah ada bantuan pemasukkan dari dana usaha dan sponsor, tetap saja kalau guest stars yang diundang papan atas---argh, Juan begitu bersikeras untuk mengundang penyanyi Hati-Hati di Jalan, Siapkah Kau untuk Jatuh Cinta Lagi, dan Secukupnya.
Itu baru main guest stars, belum embel-embel pembawa acara yang mengundang dari luar juga. Ditambah Juan ingin panggung yang tak biasa---menambahkan tiga LCD berukuran besar---seolah ini adalah konser yang digelar oleh media besar.
Namun, aku mengenal Juan. Dia akan bertanggung jawab penuh dengan keputusannya karena sebelum memutuskan dia selalu memikirkannya dengan matang. Jadi, aku percaya dia akan bisa membawa Smanphoria yang pecah dan berkesan.
"Penjualan tiket udah buka tahap apa sekarang?" tanyaku padanya.
"Presale 3. Early Bird, Presale 1, dan 2 udah ludes habis dalam waktu sebentar. Gila!"
"Ya, nggak gila. Bintang tamunya aja begitu terus dibandrol dengan harga yang lumayan murah," kataku. "Pembayaran logistik gitu-gitu udah beres, 'kan?"
Dia mengangguk. "Aman."
"Lo senggang?"
"Seperti biasa. Selalu senggang."
Aku pun berdiri dari dudukku, kemudian menyampirkan ranselku di bahu kananku. "Ikut gue."
"Kemana?" tanyanya bingung, tetapi bergerak mengikutiku keluar dari Ruang OSIS.
"Kencan."
"Hah?" Dia berhenti mendadak, mematung.
Aku menyadarinya, kemudian berbalik. "Kenapa?"
"Maksud lo?"
"Ya, lo nemenin gue, mau belanja keperluan Smanphoria. Logistik perlu bantuan. Bukannya itu kencan?"
Dia mendengkus, kemudian menggerutu sebuah hal yang tak bisa kudengar. "Gue kira dia ngajak kencan beneran."
"Hah?"
"Nggak. Bukan apa-apa. Ayo, katanya mau ken.can," ucapnya dengan penekanan pada kata kencan.
***
Aku dan laki-laki itu telah selesai berbelanja dan kini sedang menuju lokasi venue, yang kebetulan berbaik hati meminjamkan kami ruang untuk menyimpan barang-barang keperluan event dari jauh-jauh hari, sehingga saat mendekati hari-H, kami tidak sibuk dengan distribusi barang-barang lagi.
Setelah menaruh barang di ruangan, aku menghampiri Juan yang tampak serius dengan tabletnya. "Persiapan aman?"
Dia berdeham tanpa mengalihkan pandangannya. "Aman, tinggal pasang-pasang aja."
"Panggung gimana?"
"Dipasang akhir pekan. Aman, kok," jawabnya, kemudian menatapku. "Mana belanjaan lo?"
Aku menggunakan dagu untuk menunjuk. Juan pun langsung berjalan ke sana dan memeriksa belanjaan aku dan wakilku.
Namun, tiba-tiba dia merasa ada yang tidak beres. "Lo nggak beli balon?"
"Balon apa? Di list nggak ada." Ya, aku benar-benar sudah memeriksa berulang kali, meyakinkan tidak ada yang terlupa. "Di anggaran juga nggak ada."
"Hah? Ada, anjir. Nggak mungkin masa logistik gak masukin balon." Juan pun langsung memeriksa sesuatu di tabletnya, kemudian menunjukkan padaku. "Di RAB ada."
Aku memeriksanya dan bingung sendiri. "Tapi pas gua fiksasi proposal dan masukkin anggaran, nggak ada tulisan balon, Ju."
"Lo yakin?"
"100%." Eh? Tunggu. Jangan-jangan---
Aku menoleh pada laki-laki yang baru masuk kembali ke ruangan, sepertinya setelah kembali ke kamar kecil. Aku pun langsung memberi kode padanya untuk mendekat kemari. "Balon nggak lo masukin anggaran?"
Tak sesuai ekspetasiku, dia malah cengengesan. "Gue hapus."
Sontak, aku dan Juan terkejut.
"Gue hapus karena gue takut balon."
Juan menepuk dahinya. "Ya--ya, anjirlah! Tapi bukan berarti harus ngehilangin dari anggaran. Lagi balon yang dibeli juga balon huruf, bukan yang gampang meletus kayak balon hijau."
"Ya, mana gue tau," jawabnya enteng tanpa rasa berdosa.
Astaga. Sungguh aku tidak habis pikir. Baru pertama kali aku mendengar alasan konyol seperti itu selama aku menjadi organisator. "Ju, lo beli balon pake uang pribadi dulu. Nanti diganti sama duit anggaran. Nanti, kalo ada selisih biar gue yang urus."
Setelah itu, aku menarik tangan Renji---ah, Renjun---keluar dari ruangan. Kemudian melepasnya setelah berada di ujung lorong. "Lo pikir ini anggaran itu mainan? Bisa seenaknya lo hapus kalo lo nggak suka?"
"Tapi gue bener-bener takut sama balon," jawabnya. "Maaf."
Aku menghela napas panjang. "Sama, gue juga takut balon. Tapi bukan berarti gue bisa seenaknya nggak bolehin acara pake balon mentang-mentang gue ketua."
Dia diam. "Maaf."
Jujur, aku bingung dengan perasaanku sekarang, antara marah, kesal, dan geli sendiri karena tak habis pikir dengan pemikirannya. "Jabatan lo gue lepas sementara sampai akhir pekan."
"Tap---"
"Lo renungin atas tingkah kekanakan lo di organisasi." Setelahnya, aku berbalik hendak meninggalkan dirinya.
"Lo juga harusnya perlu renungin diri juga." Langkahku terhenti ketika mendengar perkataannya.
Aku berbalik, menatapnya datar tanpa ekspresi. "Apa?"
"Lo bersikap seolah lo peduli sama gue dan tertarik sama gue."
"Hah?"
"Lo egois."
"Kenapa gue egois? Emangnya salah peduli sama wakil gue sendiri?"
"Lo sering ngajak gue 'kencan'."
Aku menatapnya bingung. "Dulu gue juga sering ngajak Elang gitu."
"Lo berubah, mulai banyak senyum dan bersikap hangat ke gue."
"Gue bersikap biasa aja, ke Juan dan yang lainnya juga sama."
Dia diam. Suasana di antara kami pun menjadi hening dan muncul aura tidak enak di sekitar.
Aku kembali menghela napas. "Lo mending refleksi diri sampai akhir pekan. Gue pergi."
Aku hendak berbalik, tetapi menyadari satu hal. "Ah, kalo lo mengharapkan romansa antara ketua dan wakil OSIS seperti di kebanyakan novel remaja---lebih baik lo mundur dari jabatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terasak | Renjun NCT [END]
FanfictionBukan kisah yang menarik, apalagi istimewa. Melainkan, hanya sebuah cerita bagaimana mencairkan hati yang beku dan menjaga hati yang terluka. *** [22620]