10

124 28 0
                                    

Empat hari setelah kejadian di lorong basement venue, semua berjalan sebagaimana semestinya. Aku meng-handle job bendahara tanpa masalah. Tidak ada yang terasa berubah atau kehilangan sosok lain.

Selama empat hari itu juga, aku juga tidak bertemu dengan dirinya. Ah, hanya berpapasan dua hari yang lalu ketika aku hendak mengecek mading Medkominfo dan dia sedang mengejar bola basket yang keluar lapangan. Hanya saling bertukar-pandang singkat, kemudian melanjutkan aktivitas masing-masing.

Namun, kini mau tidak mau aku harus bertemu dengannya untuk memberi merchandise dan atribut panitia saat Smanphoria. Sungguh, ingin rasanya aku menitipkan pada orang lain. Namun, untuk BPH, ditanggung-jawabkan padaku. Juan dan Farah kuserahkan tanpa masalah---ah, lebih tepatnya Juan meminta agar dia saja yang menyerahkan pada Farah.

Ketika jam istirahat, aku pun dengan malas menuju lapangan basket---sudah pasti dia ada di sana, kan? Seolah lapangan basket sekolah adalah hak milik dia dan teman-temannya.

Namun, ketika aku sampai di sana, aku tak melihat sosoknya. Aku pun memutuskan untuk menghampiri temannya yang sedang duduk di tepi lapangan.

Belum sempat aku memanggilnya, orang itu langsung menoleh padaku. "Renjun nggak masuk."

"Kenapa?"

"Ada urusan apa?" Laki-laki itu balik bertanya.

"Mau ngasih barang panitia."

"Loh? Bukannya dia dicabut jabatan?"

Aku mengangguk. "Sampai akhir pekan doang, disuruh refleksi diri."

"Hah?" Laki-laki itu bingung. "Wah, si Kupret kebiasaan kalau cerita sepotong-sepotong elah."

Aku menatapnya bingung.

"Renjun bilang dia udah nggak jadi waketos."

"Hah?"

"Lo nolak dia?"

Sungguh, diriku semakin bingung sendiri. "Gue cuman bilang, kalo dia ngeharapin hubungan romansa ketos-waketos, mending mundur dari jabatan."

Laki-laki itu mengangguk. "Ah, jadi gitu. Pantesan dia cerita lo nolak dia."

"Nolak gimana?"

Dia mendengkus. "Lo beneran nggak tau apa gimana, deh?"

"Dia suka sama gue?"

"Jauh sebelum lo jadi Ketua OSIS."

***

Aku agak terkejut ketika motor yang aku tumpangi memasuki kawasan rumah elit. Ya, teman laki-laki itu---Haechan namanya---menawarkan diri untuk mengantarku bertemu Renji---Renjun, maksudnya---sepulang sekolah.

Tak lama, motor Haechan pun berhenti di depan sebuah rumah dengan gerbang hitam tinggi, dan pintu pun dibukakan oleh seorang satpam tanpa kami harus permisi terlebih dahulu. Sepertinya, dia sudah sering bertamu kemari.

Setelah memarkirkan motor, Haechan membawaku masuk ke dalam rumah yang---entah apa ini masih bisa disebut rumah? Benar-benar bak istana. Wah, sepertinya rumahku hanya sebesar ruang tamunya saja.

Kami pun naik ke lantai dua, sesekali menyapa asisten rumah tangga yang sedang membersihkan rumah. Dan, kami berhenti di depan pintu yang berwarna kuning. "Masuk aja. Kalau ada apa-apa, gue di bawah."

Aku mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Haechan pun meninggalkanku yang kini menatap pintu kuning tersebut, ragu untuk mengetuknya. Setelah mengumpulkan energi dari dalam, akhirnya aku mengetuk pintu.

Tak seperti bayanganku, pintu dibukakan tak lama kemudian, menampilkan sosok laki-laki yang agak berbeda dari yang kulihat di sekolah, rambutnya tampak acak-acakan dan wajahnya terlihat pucat.

Terasak | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang