12

119 29 0
                                    

"Lo ngapain di sini?" Diriku baru saja menyelesaikan shift-ku berikut dengan beres-beres restoran, dan sekarang waktu sudaj menunjukkan pukul sebelas malam.

Namun, saat diriku keluar dari resto, sedikit terkejut dengan keberadaan teman laki-laki itu, Haechan.

"Disuruh Renjun jemput lo, motor lo kan di sekolah."

Astaga! Aku sampai lupa dengan keberadaan motorku sendiri.

"Tenang, udah gue titipin satpam," katanya bak cenayang. "Naik, gih. Nanti gue dimarahin si Kupret kalo lo kemaleman."

"Nggak usah. Gue pesen ojek aja," tolakku.

Dia menatapku, menampilkan puppy eyes secara mendadak. "Lo tega nyuruh gue balik di saat gue rela nunggu lo ampe malem-malem gini?"

"Nggak ada yang minta."

"Renjun yang minta."

"Ya, protes ke dia."

Dia mendengkus. "Ah, lo emang nggak normal. Biasanya kalo gue udah nampilin muka imut-imut kek oppa-oppa Korea, pasti cewek langsung nurut ama gue."

"Hah? Kapan lo nunjukin muka imut?"

"BARUSAN! BUSET, DAH!" Dia kembali mendengkus. "Kok, bisa, sih, ada orang yang suka sama lo? Renjun kepelet apa, ya?"

Sudut senyumku terangkat. Dia mirip dengan laki-laki itu ketika sedang kesal. "Lo jadi nganterin gue, nggak? Daripada lo ribut sama Renji."

"Hah? Renji siapa?" Dia tampak bingung, tetapi sedetik kemudian dia histeris. "CIEEE! PANGGILAN SAYANG, YA?"

Eung, aku ralat, memang mirip dengan laki-laki itu, tetapi Haechan seratus kali lebih heboh. "Namanya emang Renji, kan?"

Dia kembali ke ekspresi semula. "Ah, jadi si Kupret cerita jujur soal lo yang nggak inget nama dia."

"Hah?"

"Udah, ayo, naik. Nanti si Renji ngomelin gue."

Aku pun naik ke atas motornya dan dia pun melajukan motornya melintas jalan raya ibukota.

Namanya memang Renji, kan? Eh? Renjun, deng. Astaga, Yega!

Oke, mari kita ingat. Namanya Renjun.

***

Keesokkan harinya, aku terkejut ketika Haechan berada di depan rumahku dengan motornya. Aku pun membuka gerbang dengan mulut yang menggigit roti.

"Renjun nyuruh jemput lo. Buset, dah. Lama-lama gue kek jadi supir pribadi, lho. Yang jatuh cinta siapa, yang repot gue," omelnya sembari menyerahkan helm padaku. "Pake, nih. Semalem nggak pake untungnya malem, jadi nggak ada polisi."

"Gue udah pesen ojol," kataku setelah menghabiskan rotiku.

"Batalin aja, gapapa. Terus lo minta maaf dalam hati biar nggak dosa," ujarnya enteng, sembari memasangkan helm padaku. "Lo tau? Seumur hidup gue, gue nggak pernah berangkat sekolah sepagi ini."

Aku menjauhkan tangannya setelah memakaikanku helm, merasa risih karena dia asal memakaikan tanpa permisi. "Nggak ada yang minta."

"Renjun yang nyuruh."

"Ya, lo protes ke dia, Haechan!"

"Kok, lo bisa inget nama gue? Padahal nama gue juga jarang kek Renjun."

Aku terdiam. Iya, ya, kenapa seumur hidupku hanya nama laki-laki itu yang sulit kuingat dalam otakku.

"Berarti lo emang jodoh sama dia," jawabnya.

"Masih SMA nggak boleh mikir jodoh."

Aku pun naik ke atas motornya dan motor Haechan mulai melaju menuju sekolah. Jalanan pagi masih sepi karena masih pukul enam kurang, belum memasuki jam padat kendaraan karena jam sekolah.

"Ga," panggil Haechan sembari fokus menyetir.

"Kenapa?"

"Eh? Kok lo nggak budeg? Biasanya cewek kalo dipanggil di motor kagak denger," katanya heran.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Lo playboy, ya?"

Sontak, dia tertawa ketika mendengar pertanyaanku. "Bukan playboy. Tapi pesona gue mampu meluluhkan hati setiap perempuan."

"Ya, apapun itu," kataku mengiyakan. Kalau di novel-novel remaja, memang biasanya tipe cowok seperti Haechan tergolong lelaki buaya, tetapi anehnya banyak perempuan yang tertarik. Memang, dasar cewek doyannya sama buaya, huft!

"Temen lo udah sembuh?" tanyaku ketika teringat dengan laki-laki itu.

"Kalau udah, nggak mungkin gue yang jemput lo pagi ini," jawabnya. "Lagi, kenapa lo nggak tanya sendiri ke Renjun, sih? Lo ada kontaknya, kan?"

"Ada."

"Nah, itu. Lo aneh banget, dah. Hati lo terbuat dari apa, sih?"

"Nggak tau. Lo, kan, yang anak IPA."

Aku mendengarnya menghela napas. "Bukan hati yang itu. Ah, serah lo, deh. Gws banget Renjun yang kepincut sama lo."

Aku terkekeh geli mendengarnya mengomel. Ah, tiba-tiba saja, aku jadi merindukan sosok wakilku, mirip dengan Haechan ketika sedang mengomel.

***

Pintu ruang OSIS terbuka ketika aku sedang memeriksa berkas-berkas Smanphoria untuk diarsipkan. Aku menyadari ada seseorang yang masuk ke dalam dan kemudian duduk salah satu kursi yang ada di dekatku. Namun, aku terlalu fokus sampai enggan untuk meliriknya barang sedikit.

"Serius banget sampe ada orang dateng dicuekin." Perhatianku teralih ketika mendengar suara tersebut.

Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan keberadaannya di sini. "Lo ngapain ke sini?"

"Kangen lo," jawabnya dengan tangan ditopangkan di depan dagu.

Aku mengabaikan jawabannya, terasa geli ketika mendengarnya. "Lo kan masih dicabut jabatan. Selain pengurus OSIS, dilarang masuk ke Ruang OSIS!"

"Iya, tau-tau. Tapi sebenernya gue ke sini karena disuruh Juan beresin anggaran."

"Ya, sana di luar." Aku pun memutuskan kembali fokus pada layar laptopku, tetapi melihat dirinya yang tak kunjung keluar, aku pun mendesah. "Gue serius. Persetan lo lagi sakit atau apalah. Tapi, keputusan gue ya nggak bisa diganggu gugat. Lo masih dicabut jabatan."

Bukannya pergi, laki-laki itu malah mendekatkan diri padaku. "Usir gue dengan nama gue yang bener."

"Kebanyakan baca novel remaja lo."

Dia mencibir. "Lo aja yang terlalu flet. Iya, iya, gue pergi. Jangan kangen, ya."

"Ya."

Laki-laki itu pun berdiri dari duduknya, tetapi bukan untuk keluar. Dia merendahkan tubuhnya, memajukan kepalanya padaku.

Aku mengerutkan dahi. "Apa?"

"Biasanya lo sering gituin gue."

"Hah?"

Tiba-tiba, dia menarik tanganku, kemudian meletakkannya ke puncak kepalanya. "Pengisian energi."

Aku menyerngit. "Kurang-kurangin baca novel," ketusku sembari menarik tanganku.

"Gue nggak pernah baca novel gituan. Itu mah pengetahuan alami manusia. Lo aja yang aneh karena nggak tau."

Tiba-tiba, diriku teringat sesuatu. "Kemaren, lo bilang tau alasan gue yang sebenernya. Alasan apa?"

"Oh, itu yang di Timezone, depan stand photobox."

Deg!

Seketika tubuhku mematung. Ingatanku mulai membuka kembali sesuatu yang telah kukunci rapat-rapat, kalau bisa mau kuhilangkan selamanya dari dalam sana.

Dia menyadari perubahan dariku, kemudian dia mengambil duduk kembali, dan berkata, "Desember dua tahun lalu, gue yang ngasih sapu tangan ke lo pas lo ngeluarin air mata lo buat manusia yang nggak pantes lo tangisin."

Terasak | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang