19

195 23 0
                                    

"Kalo emang nggak kuat, nggak usah dipaksa, Ga." Perkataan itu sudah berulang kali kudengar dalam beberapa menit belakangan.

"Gue gapapa, Chan," jawabku meyakinkannya, yang sebenarnya dia tahu bahwa aku tengah berbohong.

"Ga, gue tau kita baru kenal belom lama yang seharusnya nggak ada hak buat ngatur lo. Tapi, kali ini gue mohon sama lo, to---"

"Chan, gua paham konsekuensinya. Tapi, kalo gue nggak dateng, mungkin gue bakal nyesel di masa depan."

Dia menghela napas panjang. "Oke, kalo itu mau lo."

Akhirnya, kami pun keluar dari mobil Haechan, lengkap dengan diriku yang sudah berganti pakaian seperti berangkat dengan jas milik ayahku yang menutupi bagian atasku yang terbuka---Haechan sempat mengomeliku bahwa seharusnya blazer yang kugunakan, bukan jas. Ya, mana aku paham, yang penting masih cocok.

Laki-laki itu juga mengenakan setelan jas, yang tanpa disengaja senada dan tampak serasi denganku. Sebelum masuk ke gedung, aku juga sudah merias kembali wajahku, hanya riasan sederhana untuk menutupi wajahku yang sendu.

Kami hendak berjalan menuju meja tamu, tetapi tiba-tiba Haechan berbisik, "tolong gandeng lengan gue."

Aku menoleh. "Kenapa?"

"Yang jaga buku tamu mantan gue, baru gue putusin dua hari lalu dan dia minta balikan mulu."

Aku menatapnya jengah. "Gue kira karena apa."

Tanpa perlu pikir panjang, aku menyelipkan tanganku ke lengannya yang aku sedikit terkejut setelahnya, lengannya terasa keras dan berisi, sepertinya dirinya sering berolahraga.

Setelah mengisi buku tamu dan mengambil souvenir---yang langsung kuberikan pada Haechan karena enggan untuk menyimpannya---kami pun mengambil duduk di paling belakang, aku yang memintanya.

Haechan tampak mengerti alasanku mengambil duduk di belakang tanpa bertanya, jadi dia mengiyakannya saja. Sungguh, beruntung wanita yang akan menjadi pasangannya nanti, Haechan benar-benar sangat memahami kaum hawa. Hanya saja, redflag-nya dia buaya.

"Njir, mantan gue langsung chat gue mulu," desisnya, kemudian mematikan ponselnya, sepertinya dia sangat merasa terganggu.

"Kenapa nggak dibales?"

"Ya, nggak. Kan, udah putus, ngapain masih berhubungan?"

Mendengar jawaban Haechan, aku terdiam. Apakah setelah ini aku dan Renjun akan seperti itu?

Namun, yang perlu digaris-bawahi adalah kami belum pernah menjalin hubungan apapun. Apakah kisah ini akan selesai begitu saja yang padahal belum memulai apapun?

"Gue sama Renjun bakal gitu juga, ya, Chan?" Pertanyaan itu mencelos begitu saja dari mulutku.

Dia menyerngit. "Lo emang pernah pacaran sama Renjun?"

Aku menggeleng. "Ya, tentu nggak."

"Ya, kalau jodoh suatu saat pasti bakal dipertemukan lagi," jawabnya.

"Tapi gue harap kita nggak usah ketemu lagi."

Laki-laki itu terkekeh. "Hubungan lo berdua rumit, masih kusut. Yakin nggak mau mengharap kesempatan bisa mengulanginya suatu saat nanti?"

Aku menggeleng. "Dia udah punya tunangan, Chan."

"Tapi, bisa jadi dia kepaksa buat menjalani pertunangan ini," ucapnya. "Kalau dia emang setuju sama pertunangan ini, pasti dia bakal ngundang gue dan yang lain. Nggak mungkin dia nyembunyiin fakta ini, yang bahkan gue tau aja karena lo."

Benar juga. Namun, aku langsung menggelengkan kepala. "Nggak, Chan. Dia udah jadi milik orang lain. Apapun alasan di belakangnya, apapun alasan sebenarnya, kita nggak boleh ganggu yang udah jadi milik orang lain."

Terasak | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang