11

127 29 0
                                    

"Lo kapan balik?"

Setelah aku bercerita tadi, aku menyadari sesuatu, wajahnya tampak pucat. Aku pun menempelkan punggung tanganku pada dahi yang tertutup rambutnya. "Lo demam, anjir."

"Gue---"

"Perut lo sakit lagi?"

"Ta---"

"Udah minum obat?"

"Lo---"

"Dari kapan? Udah ke dokter---hmmpph!" Laki-laki itu menutup mulutku dan aku menyadari tangannya terasa dingin.

"Kok lo tiba-tiba jadi bawel? Satu-satu, elah, kalo nanya!"

Aku menyingkirkan tangannya dari mulutku. "Lo tiduran, cepet!"

"Mau ngap---" Tanpa permisi, aku pun langsung mendorong tubuhnya hingga sempurna terbaring di kasur.

"Lo punya kompresan?"

"Ngg---"

"Ya, gue tau pasti nggak ada. Cuman mastiin." Aku kembali memotong omongannya, kemudian pergi keluar kamarnya dan turun ke bawah, menghampiri Haechan yang kini tengah menonton televisi.

"Gue boleh minta tolong? Beliin obat," kataku sembari menyerahkan uang berwarna biru. "Foto-foto obatnya gue kirim lewat chat nanti. Kembaliannya buat lo aja, ongkos titip."

"Hah? Bocah sakit lagi?" Laki-laki itu heran.

"Lagi?"

"Iya, belakangan ini dia sering kumat. Lo nggak tau?"

"Dia nggak cerita."

"Lo nggak nanya?"

Aku terdiam. Benar, selama ini aku tak pernah bertanya keadaan tentangnya, berikut juga dengan para anggotaku. Aku tak pernah memastikan keadaan dan kabar mereka bagaimana, yang kulakukan hanya crosscheck proker, proker, dan proker. Aku menganggap mereka sebagai keluargaku, tetapi aku lupa bahwa keluarga bukan hanya sebatas gelar nama.

Seolah bisa membaca pikiranku, laki-laki itu berkata, "nggak usah merasa bersalah. Gue tau itu sifat bawaan lo yang emang cuek, sehingga nggak pernah kepikiran dan tertarik dengan kondisi sekitar yang notebene bukan urusan urgent lu. Gue pergi beli obat dulu, kirimin fotonya lewat Hp Renjun aja. Gue tau lo nggak mungkin punya kontak gue."

Laki-laki itu pun pergi meninggalkanku yang masih larut dalam pikiranku. Secuek itukah aku selama ini? Sampai Elang yang sudah lama menjadi patnerku saja, aku tak mengetahui bahwa dirinya masih sakit. Pantaskah aku masih disebut seorang ketua?, batinku.

***

"Lo kapan balik? Ditanya malah bengong."

Aku kembali tersadar dengan lamunanku. "Hah?"

Dia terkekeh. "Lo mikirin apa, sih?"

"Lo udah mendingan?" tanyaku memastikan sembari mengambil kompress dari perutnya.

"Iya, soalnya ada lo di sini."

Aku terkekeh. "Tadi sok-sokan ngusir gue."

Dia mendengkus, kemudian menatapku yang sedang memeras lap kompress dengan air hangat baru. "Perut gue udah nggak suci."

"Hah?"

"Udah lo pegang, udah lo liat, udah---"

"Ya, nanti gue suruh Haechan yang ganti kompress lo. Bentar, gue panggilin." Aku pun menaruh lap di baskom, kemudian bangkit dari dudukku.

Namun, tanganku langsung ditahan olehnya. "Aish! Bukan gitu maksud gue. Ah, susah ngomong sama lo."

Aku terkekeh kembali dan duduk seperti semula, kemudian menaruh kompres pada perutnya dan menurunkan kaosnya. Tanganku berpindah pada dahinya, masih panas, tetapi tidak sepanas tadi.

"Kalo sakit, bilang, jangan ditahan. Kalo lo capek pas lagi prokeran, bilang juga, jangan sok-sokan maksain kalau ujung-ujungnya tumbang kayak gini."

"Lo juga. Lo nggak pernah bilang kalo sakit."

"Hah?"

"Lo punya penyakit yang sama kayak gue, kan?"

Aku mengangguk. "Tapi jarang kumat."

"Tapi, gue penasaran."

"Apa?"

"Kok lo mau nolongin gue pas gue nyaris pingsan di lapangan waktu itu?"

"Terus lo mau gue ngliatin aja kayak manusia lain di saat temen-temen lo aja nggak tau nomor ambulan?"

Dia mencibir. "Kan lo kulkas berjalan."

"Gue tau."

"Kok lo nggak marah dibilang gitu?"

"Kenapa harus marah karena gituan doang? Buang-buang tenaga," jawabku.

"Terus, ken---"

Aku mengusap rambutnya yang berantakan. "Mending lo istirahat daripada wawancarain gue. Gue mau shift."

Namun, laki-laki itu menahan tanganku yang tengah mengusap rambutnya. "Lo sering gini ke cowok lain?"

"Gini gimana?"

"Ngusap puncak kepala atau rambut."

"Lo kira gue kurang kerjaan?"

"Berarti cuman ke gue doang?"

"Nanti gue juga usap kepalanya Haechan."

"Nggak boleh!" Dia melepas tanganku, kemudian menempelkannya lagi ke rambutnya. "Cuman boleh ke gue."

"Emangnya lo siapa gue ngelarang-larang?"

"Calon suami," jawabnya sembari menampilkan senyum lebarnya. "Amin. Aminin juga, dong."

"Gue nggak mau nikah," jawabku tegas. Ya, aku memang sangat tidak berminat untuk menikah. Memang apa benefitnya selain punya teman hidup hingga tua? Nambah beban malah iya. Belom lagi nanti punya anak, ngurus keluarga, rumah, dan masih banyak lagi.

"Mau nikahnya cuman sama gue aja, ya? Ya, ya?"

Aku menarik tanganku menjauh darinya, kemudian menyentil dahinya. "Sehat dulu aja. Lagi sakit nggak boleh mikirin nikah."

"Berarti kalo udah sembuh boleh?"

Aku menghela napas. "Lo kayak bocah."

"Tapi gini-gini calon suami lo. Gue berani jamin pake pahala."

"Ya, serah lo, dah. Gue balik."

Aku pun berjalan menuju pintu, hendak keluar. Namun, laki-laki itu mengatakan sesuatu yang membuat gerakanku tertahan.

"Gue suka sama lo, persis kayak yang diceritain Haechan ke lo. Dan, gue janji, bakal nutup luka lo biar lo bisa nerima gue."

Aku berbalik, kemudian menaikkan sebelah alisku. "Hah?"

"Gue tau alasan kenapa lo nutup hati lo. Dan, gue janji bakal nutup walaupun nggak sempurna."

Terasak | Renjun NCT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang