"Oke, intinya special thanks for you, Guys. Tanpa kalian semua, nggak mungkin acara Smanphoria sukses digelar."
Acara sudah selesai dan benar-benar sukses luar biasa, walaupun hujan semua tetap lancar dan pecah abieszz. Bahkan, ada beberapa media yang meliput acara kami, padahal bukan media patner.
Namun, entah kenapa, seharusnya aku merasakan kebahagiaan saat ini. Nyatanya, saat ini aku merasakan sakit yang luar biasa, seolah luka yang nyaris sembuh kembali ditusuk hingga terbuka lagi.
"Ga. Yega." Aku tersadar, ternyata sedari tadi aku larut dalam pikiranku.
"Kenapa?"
"Ada tambahan?" Juan mengulangi pertanyaannya.
Aku menggeleng. "Cukup, Ju. Nanti, lebihnya disampaiin pas evaluasi aja. Sekarang udah dini hari, kalian pulang dan istirahat dulu. Sorean nanti, kita balik lagi ke venue buat beres-beres."
Setelahnya, kami semua bubaran, hendak kembali ke rumah masing-masing. Hujan masih mengguyur, tetapi mereka semua tak peduli. Badan sudah terlalu lelah dan hanya ingin cepat-cepat menempel ke kasur, sehingga mereka memutuskan untuk menerobos saja. Toh, sedari tadi memang sudah basah karena jas hujan ponco tak sepenuhnya dapat melindungi dari basah.
Aku pun juga hendak pulang segera, hendak mengistirahatkan diriku yang sangat lelah. Ingin segera mengguyur tubuh dengan air, membersihkan tubuh dengan harapan setelah mandi beban pikiranku dapat sedikit hilang.
Namun, aku memastikan sampai semua panitia meninggalkan venue terlebih dahulu, kebiasaanku sebagai seorang Ketua yang baru bisa pulang setelah semua anggotaku pergi.
Setelah sepi, aku pun mengambil tasku yang berada di ruangan, kemudian berjalan keluar dari venue.
"Yega!"
Aku berhenti ketika mendengar suara yang saat ini tak ingin kudengar. Rasa sesak itu masih ada sampai sekarang, bahkan rasa sakit pun membubuinya hingga semakin menjadi.
Padahal, aku tak ada hubungan apapun dengannya, apalagi perasaan. Namun, kalau aku tak memiliki perasaan padanya, mengapa aku merasakan sakit ketika mendengarnya bertunangan?
Dia menghampiriku dengan senyum merekah, merentangkan tangannya. "Mana janjinya?"
Seandainya tadi diriku tak mendengar kabar bahwa dia akan bertunangan, mungkin saat ini aku akan memeluknya dengan perasaan bahagia dan mengucapkan selamat.
Namun, kini aku memang memeluknya, tetapi aku membisu. Malahan air mataku yang keluar sebagai juru bicara dari hatiku saat ini.
Sontak, laki-laki itu terkejut ketika merasakan punggungku bergetar ketika dia membalas pelukanku. Dia sadar bahwa diriku menangis.
Perlahan, tangannya mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Aku tahu dia peka bahwa tangisanku saat ini bukan tangisan bahagia.
Dan, seolah alam mendukungku untuk bersedih, hujan deras kembali mengguyur, membasahi tubuhku dan dia, dua insan yang masih berpelukan.
Tangisku semakin deras, menyatu dengan air hujan yang menerpa tubuhku.
Sungguh, aku tak tahu kenapa aku harus bersedih sampai seperti ini?
Kalau aku tak punya perasaan padanya seperti yang kuakui selama ini, bukannya seharusnya aku turut bahagia ketika mendengar dia bertunangan?
Atau, rasa sesak dan sakit ini muncuk karena gadis yang bertunangan dengan dia adalah Kristal?
Karena aku belum bisa mengikhlaskan masa lalu?
Karena lukaku belum sembuh, tetapi sudah dibuka kembali?
Sungguh, aku benar-benar tak mengerti apa yang kurasakan saat ini. Terlalu sakit untuk disembuhkan, terlalu sesak untuk diluapkan.
Tangan Renjun masih mengusap punggungku, menenangkan tangisanku yang semakin deras.
"Gapapa, Ga. Gapapa."
Aku tahu dia mengatakan itu tanpa tahu masalah apa yang membuatku menangis saat ini. Namun, entah kenapa aku merasa marah ketika mendengarnya.
Batinku berkata, apanya yang gapapa, Bangsat?
Seharusnya aku tak sampai mengumpat. Dia tak salah, bukan dia yang salah. Aku yakin dia juga dijodohkan oleh orangtuanya, diminta untuk bertunangan karena alasan bisnis. Aku tahu karena dulu aku juga pernah menjadi anak dari seorang pengusaha besar, sedikit banyak aku tahu dan paham tentang dunia bisnis yang sebenarnya sangat kejam.
Yang kuat akan bertahan? Salah. Kuat saja tak mampu bertahan, jika di dunia bisnis. Yang akan menang adalah yang kuat, licik, dan berduit. Dijamin 100%, pembisnis itu tak akan bangkrut seperti ayahku.
Aku tak menyalahkan ayahku yang bangkrut, aku tak masalah jatuh miskin. Namun, saat ini aku belum bisa ikhlas dengan hubunganku yang kandas, itu menjadi sebuah luka besar bagiku dan merubah hidupku 180° menjadi sosok yang benar-benar berbeda.
Dan, sialnya, luka itu kembali. Lebih tepatnya, salah satu pembuat luka itu kembali kepadaku hari ini dengan membuat luka lama kembali mencuat rasa sakitnya.
"Udah, Ga. Yuk, pulang, biar bisa istirahat," katanya lembut, masih berusaha untuk menenangkanku.
Aku mengangguk sebagai jawaban, kemudian dia menggandeng tanganku menuju parkiran, yang sudah pasti tak kubalas genggamannya.
Aku pun naik ke atas motornya. Hari ini aku tidak membawa motor karena tadi berangkat bersama Juan dengan mobil pick-up barang-barang, yang kebetulan searah ke venue dan melewati rumahku.
Dia memakaikan helm padaku, setelahnya dia juga naik ke atas motor dan melajukannya membelah jalan raya Ibukota di dini hari.
Aku menatap punggung laki-laki itu. Kenapa semesta mendatangkan dirinya ke kehidupanku, jika ujung-ujungnya hanya menggoreskan luka kembali yang bahkan kami belum memulai hubungan apapun?
Untuk apa dia masuk ke dalam hatiku yang kata orang sudah sedingin kutub utara ini?
Dan, untuk apa---ah, sudahlah, aku tak sanggup meneruskannya lagi. Memang, lebih baik aku terus menutup diri.
Seharusnya, kemarin-kemarin aku tak bersikap hangat padanya. Harusnya aku menolak dengan tegas ketika dirinya meminta permintaan untuk menjadi wakilku dan lebih baik aku melunaskan hutangku dengan uang.
Namun, semua ini sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa kurubah seperti semula. Tak tahu harus memperbaiki bagian mana ketika semua sudah hancur lebur.
Yang hitam, biarlah tetap menjadi hitam. Dan yang putih berubah menjadi hitam, jangan harapkan bisa kembali menjadi putih.
"Renjun." Aku memanggilnya.
Aku melihatnya dari kaca spion melirik padaku, mengisyaratkan bahwa dia bertanya, 'kenapa?'
"Makasih." Hanya kata itu yang akhirnya bisa keluar dari mulutku.
"Untuk apa?"
"Makasih."
"Iya, buat apa, Yega?"
Aku terdiam sejenak, kemudian menghembuskan napas panjang. "Makasih udah mau hadir di kehidupan gue. Makasih udah sempat mencoba memberi warna pada kertas hitam gue. Makasih buat selama ini. Makasih karena pernah ada dan menjadi orang di sisi gue. Apapun itu, apapun yang terjadi ke depannya, gue harap itu yang terbaik buat kita. Renjun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terasak | Renjun NCT [END]
FanfictionBukan kisah yang menarik, apalagi istimewa. Melainkan, hanya sebuah cerita bagaimana mencairkan hati yang beku dan menjaga hati yang terluka. *** [22620]