Jika ada kata-kata yang melukai hati, menunduklah dan biarkan ia melewatimu. (jangan dimasukkan hati agar tidak lelah hatimu).
Ali bin Abi Thalib.
// About Readiness //
"Loh ...."
Ayra menggaruk kepalanya yang tertutupi tudung hoodie, seraya menggigit bibir bawahnya. Gadis itu bisa melihat raut keterkejutan yang muncul di wajah keluarganya yang kini sedang duduk di meja makan.
"Kok buka lagi, sih, Cil? Jangan buat malaikat bingung deh," komentar Althaf pertama kali.
Ayra mendelik kesal ke arah Althaf. "Siapa juga yang mau buat malaikat bingung, sih, Kak ...?"
Sebelum banyak kalimat yang keluar dari mulut Ayra, Farhan sudah lebih dulu memotongnya dengan menyuruh Ayra untuk duduk di tempatnya. Mau tidak mau Ayra menurut, lalu melotot kesal ke arah Althaf.
"Jadi, Ayra bisa dijelasin, kenapa jilbabnya dilepas lagi?" tanya Farhan yang membuat atensi Ayra segera menoleh ke arahnya.
"Maaf, Pa. Tapi, aku masih malu buat make jilbab ke sekolah, takut dicerita yang nggak-nggak, sama temen-temen," cerita Ayra pelan, tetapi masih mampu didengar oleh anggota keluarga lainnya.
Farhan tampak mengangguk beberapa kali seraya tersenyum. Hal itu juga dilakukan oleh Aina, sementara Aditya hanya diam sembari fokus dengan sarapannya.
"Ngapain harus malu coba? Lo nggak lagi ngelakuin hal buruk kali. Terus, omongan temen-temen lo yang nggak enak yaudah biarin aja. Nggak usah didengerin, apa susahnya?" Sepertinya Althaf memang pemicu dari segala perdebatannya dengan Ayra. Lihatlah lelaki itu berkata demikian dengan raut wajah yang sangat songong di mata Ayra.
"Aku tahu, kok make jilbab bukan hal yang buruk. Tapi berusaha nggak dengerin omongan jelek orang tentang kita itu susah, Kak. Hati perempuan sama laki-laki itu beda ... mungkin kalau orang lain ngomong yang nggak-nggak tentang Kak Al, Kak Al bakalan biasa aja dan bersikap bodo amat. Nah sementara aku ...?" Mata Ayra tampak berkaca-kaca saat mengucapkan perkataannya barusan.
Karena memang sedari subuh otak dan hatinya saling menyerukan pendapat yang berbeda, hingga Ayra sendiri pusing dibuatnya. Dia bimbang antara ingin berhijab ke sekolah ataukah tidak. Dan pada akhirnya gadis bermata bulat itu menuruti keinginan pikirannya.
"Althaf." Teguran tegas itu keluar dari mulut Aditya, setelah mendengar nada suara Ayra yang terdengar pelan dan sedikit bergetar.
"Okay. Maaf." Hanya itu yang bisa Althaf ucapkan, lalu setelahnya dia mulai fokus pada sarapannya.
"Ya udah, nggak apa-apa kalau memang kamu belum siap buat make hijab ke sekolah. Tapi kalau udah pulang sekolah dan mau ke mana-mana kecuali ke sekolah, boleh dong ya jilbabnya dipake lagi?"
"Niatnya gitu, Ma. Tapi kalau aku kayak gitu, nggak mainin jilbab kah namanya?" tanya Ayra pelan.
"Nggak, dong. Kan, biar kamu jadi kebiasaan pake jilbabnya. Kan, kalau kita udah biasa make jilbab, terus pas dibuka tuh perasaan kita kayak gelisah, kan? Jadi siapa tahu karena itu akhirnya kamu mutusin buat berani pake jilbab ke sekolah," jawab Aina, "lagian niat awal kamu pake jilbab emang bukan karena ingin main-main, kan?" lanjut Aina dengan pertanyaan yang kemudian diangguki oleh Ayra.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Readiness
SpiritualSpiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zu...