Manusia itu milik Allah dan sudah pasti tempat berpulangnya juga kepada Allah.
// About Readiness //
Ayra menatap dokter spesialis jantung--Abi Akhtar yang ada di depannya dengan mata sembab dan pipi yang dipenuhi dengan air mata. Tatapannya penuh dengan kecemasan juga harapan baik tentang apa yang akan disampaikan dokter Rasyid kepadanya dan juga keluarganya.
"Maaf ... nyawa Pak Farhan tidak bisa kami selamatkan. Allah berkehendak lain dengan mengambil Pak Farhan lebih cepat."
Perkataan dokter Rasyid barusan bagaikan godam yang menghantam telak dada gadis bermata bulat itu. Bahkan tiba-tiba persendiannya terasa lemas begitu saja, hingga pada akhirnya dia terjatuh dan terduduk di lantai. Napasnya tampak naik turun tidak beraturan, sorot matanya yang sering terlihat ceria kini redup dengan kesakitan yang mendalam.
"Mama!" Ayra menoleh dan mendapati tubuh Aina yang sudah tidak sadarkan diri di pelukan Althaf. Hati Ayra kian tersayat, bahkan bergerak dari posisinya sekarang pun dia tidak kuat, apalagi menghampiri mamanya yang sedang pingsan itu.
Pada akhirnya Ayra hanya bisa melihat mamanya yang dibawa oleh suster dan dokter Rasyid dengan air mata yang kian deras membasahi pipinya. Ayra ingin bersuara, tetapi tenggorokannya terasa tercekat. Sungguh hal ini benar-benar menyakitkan dan mengguncang batinnya.
Allah kenapa harus papa? Kenapa bukan aku aja? batin Ayra berteriak nelangsa.
"Ayra ...." Panggilan dengan nada pelan itu masuk ke rungu Ayra, hingga membuatnya refleks menoleh.
Ayra hanya terdiam dengan sorot keterlukaan yang begitu mendalam saat netranya bertemu dengan netra milik Aditya. Saat Aditya berjongkok di hadapannya kemudian langsung merengkuh tubuhnya barulah isakan Ayra terdengar itupun teredam karena dia menyembunyikannya di dada Aditya.
Aditya memejamkan mata erat saat mendengar tangis Ayra yang seperti menyayat hati. Sembari mengelus pelan punggung Ayra, Aditya pun berkata. "Yang sabar, Ra. Jangan nangis, pasti papa nggak akan kenapa-kenapa, kok," ujar Aditya sepelan mungkin.
Mendengar itu tangis Ayra kian menjadi. Sembari mendongak menatap wajah Aditya, Ayra akhirnya bersuara. "Pa ... papa udah nggak ada, Bang."
Secara otomatis gerakan tangan Aditya yang mengelus punggung Ayra berhenti seketika, otak pria dewasa itu tampaknya sedang mencerna ulang perkataan Ayra barusan.
Ayra kembali menenggelamkan wajahnya di dada Aditya. "Papa udah pergi ninggalin kita semua," gumamnya sangat pelan yang masih bisa didengar jelas oleh Aditya.
Rasanya dunia Aditya runtuh seketika usai mendengar kabar dari Ayra barusan. Netranya tampak menatap nanar pintu ruang UGD yang ada di hadapannya. Anak mana yang tidak sedih mengetahui berita jika papanya sudah tidak ada? Namun, sebagai anak pertama dan tertua, Aditya tidak boleh lemah, dia harus kuat agar bisa membuat anggota keluarga lainnya ikut kuat juga, apalagi adik perempuannya yang sedang berada di pelukannya saat ini.
Aditya tahu jika Ayra sangat terpukul akan kepergian Farhan. Karena Aditya juga tahu seberapa dekat antara Ayra dan juga papanya. Dia memang sangat merasa sedih, bahkan ingin menangis, tetapi dia menahannya karena yang terpenting saat ini adalah menenangkan Ayra yang sedang menangis pilu di dalam pelukannya, dan tanpa Aditya tahu jika mamanya juga sedang tidak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Readiness
SpiritualSpiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zu...