Lagi-lagi seseorang dikecewakan dengan harapan dan angannya sendiri. Karena pada nyatanya tidak ada harapan yang lebih indah jika manusia menggantungkannya pada pembuat skenario hidup di alam semesta ini.
// About Readiness //
Sudah tiga hari Ayra terus-terusan murung semenjak kepergian papanya. Selama tiga hari itu juga dia tidak berangkat ke sekolah, jangankan ke sekolah keluar kamar pun bisa dihitung jari. Dia keluar jika benar-benar kasihan mendengar mamanya dan kedua kakaknya yang berusaha membujuknya untuk makan bersama.
Sesekali Ayra memang ikut makan, tetapi setelah makan dia akan kembali ke kamar, menyendiri, melamun, menangis, tersenyum tipis, kemudian menangis lagi. Begitu terus yang dia lakukan sampai hari ini. Sampai-sampai keadannya tampak tidak baik-baik saja.
Saking terpukulnya dengan kepergian sang papa gadis itu kerap kali tidak bisa tidur di malam hari, lantaran dia terlalu hanyut dengan kenangan-kenangan yang sengaja dia pikirkan untuk mengurangi rasa rindu kepada papanya.
Ketukan pintu yang terdengar membuat Ayra menoleh pelan. Cepat-cepat dia menghapus air matanya kemudian berjalan membukakan pintu untuk seseorang yang berada di balik pintu kamarnya.
"Mama ... Tante Fiya ...," gumamnya dengan nada pelan yang nyaris tidak terdengar.
"Kita boleh masuk?" tanya Fiya seraya menatap wajah Ayra dengan senyuman tulusnya.
"Boleh. Ayo, silakan ...," balas Ayra seraya mempersilakan kedua wanita itu untuk masuk ke dalam kamarnya.
Ayra menyusul setelah dia kembali menutup pintu kamar. Kemudian gadis bermata bulat itu mendudukkan dirinya di atas kasur, tepat di hadapan Aina dan juga Fiya.
Ayra terdiam sembari menunduk dalam saat kedua wanita di depannya menatap intens ke arahnya. Jika Fiya menatapnya dengan senyuman seperti sebelumnya, maka lain halnya dengan Aina yang menatap sendu ke arahnya.
"Ayra sakit? Kenapa tiga hari belakangan ini Tante nggak pernah ngelihat kamu? Kamu juga udah nggak ke rumah lagi, katanya Oya kangen sama kamu," ujar Fiya memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.
Ayra menggeleng pelan seraya tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai di matanya. "Aku nggak sakit kok, Tan, cuman lagi pengen sendiri aja. Bilangin ke Oya aku juga kangen."
Kembali hening terjadi di antara mereka. Ayra juga kembali menunduk dengan rasa sesak yang kembali hadir di dalam hatinya.
"Kalau begitu saya ke dapur dulu ya, Mbak untuk buatin minum," ujar Aina memecah keheningan yang terjadi.
Setelah mendapat anggukan dari Fiya, Aina segera keluar setelah sebelumnya dia menatap penuh harap kepada wanita bercadar itu, sementara Fiya hanya membalasnya dengan senyuman juga anggukan yang singkat.
"Ayra tante mau peluk kamu boleh?" tanya Fiya tiba-tiba setelah Aina keluar dari kamar.
Ayra refleks mendongak, kemudian menatap netra Fiya dengan sorot kesedihan. Bahkan rasanya hatinya bergetar dan bertambah sesak saat Fiya melontarkan pertanyaannya barusan. Sejenak Ayra terdiam, kemudian menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang tiba-tiba saja ingin pecah.
Ayra sudah akan berbicara dengan membuka mulut, tetapi mulutnya kembali terkatup rapat bersamaan dengan anggukan berulang kali yang dia lakukan. Fiya yang mengerti langsung maju mendekat kemudian menarik Ayra ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Readiness
ДуховныеSpiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zu...