*Akan ada waktu, dimana kita tidak bisa mengatakan ‘Tidak’ pada suatu keadaan dan di saat itu, takdir Alloh sedang bekerja.*
Langit sedang menampakkan hawa muramnya. Seakan dia ikut bersedih atas musibah yang dialami salah satu penghuni bumi yang sedang meratapi nasibnya.
“Aku tunggu di mobil,” kata pemuda yang sedari tadi berdiri di belakangnya.
Zahwa Nadhira, nama perempuan tersebut. Dia masih betah berjongkok memegang batu nisan di depannya. Ada empat gundukan tanah baru yang tak lain adalah makam kedua orang tua sekaligus mertuanya.
Sejak tadi dia masih terus menangis dan tidak lagi mengetahui apa yang harus dilakukan.
“Jangan terlalu lama, seperti hujan akan turun,” imbuh pemuda itu lagi.
Semenit tidak mendapatkan balasan dari orang yang diajak berbicara, dia memilih meninggalkaan Zahwa sendiri.
Sunyi, sepi. Hanya ada udara dan isakan tangis Zahwa yang semakin terdengar keras. Dia tak mengatakan apapun. Berkali – kali menghapus air matanya yang semakin tak terbendung.
Terakhir dia mengatupkan kedua telapak tangannya dan terdengar doa-doa dari lisannya.
Setelah di rasa cukup, dia beranjak bangkit. Berbalik mulai meninggalkan area pemakaman.
Berjalan pelan menuju salah satu mobil yang sejak tadi menunggu dia datang.
Tok tok tok
Zahwa mengetuk kaca mobil. Tidak lama kaca itu terbuka dan memperlihatkan laki-laki yang resmi menjadi suaminya itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata, laki-laki tersebut mengulurkan tangannya. Membukakan pintu untuk Zahwa.
“Maaf, jika harus menunggu lama,” kata Zahwa.
Laki-laki dengan wajah tampan yang memakai kaca mata hitam itu tidak menjawab, hanya mengisyaratkan untuk segera zahwa masuk.
Mobil melaju menyusuri jalanan sepi. Menembus rintikan hujan yang mulai mengguyur pelan. Itu adalah gerimis pertama mereka setelah keduanya bersama.
Kedua penghuni mobil layaknya orang asing.Tidak satupun yang bergeming. Bahkan memandang pun di rasa tak mungkin.
***
"Zahwa?!"
“Mas Hanan memanggilku? Apa ada yang mas perlukan?” tanya Zahwa agak ragu karena panggilan itu terdengar samar. Itu adalah panggilan pertama dan kali kedua laki-laki itu menyebut namanya.
Hanan Al Faruq_ Laki-laki dengan postur lebih tinggi sepuluh senti darinya itu berjalan mendekatinya.
Wajah putih bersih, dengan anak rambutnya di dahinya membuat dia semakin tampan. Matanya yang tajam, membuat setiap yang kehilangan kesadaran.
“Aku hanya mau bilang semua barangmu sudah dipindahkan di kamarku. Maksudku, kamar kita,” kata Hanan. Di dalam nadanya dia menyimpan keraguan.Bingung harus menjelaskannya bagaimana.
“Oh, terima kasih mas. Maaf merepotkan,” balas Zahwa.
“Hari ini kamu istirahat saja, biar aku saja yang masak.”
“Mas Hanan yang istirahat. Sejak kemarin mas belum istirahat karena harus mengurusi pemakaman bapak,ibu,” tolak Zahwa.
Meskipun Zahwa memang letih, tapi dia juga tidak tega membiarkan orang yang baru saja menyandang status suaminya itu kerepotan. Sebab Zahwa tahu betul, apa saja yang suaminya telah lakukan.
Mengurus empat kematian sekaligus bukanlah hal mudah. Tapi hanan tetap melakoni itu sendirian.
“Ok, kita pesan makanan saja,” ujar Hanan akhirnya. Sama-sama tidak ingin mengalah akhirnya Hanan mencari jalan tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Calon Ipar
RomanceMenikah secara mendadak bukanlah keinginan setiap orang. Tapi Zahwa dan Hanan harus mengalami itu semua. Sebab pernikahan mereka adalah wasit terakhir kedua orang tua mereka. Tidak saling mengenal, bahkan pertama kali bertemu mereka diminta oleh me...