#Hanan Al FaruQ
Masih di malam itu.
Pak Rosyid merenteti dengan banyak pertanyaan untuk Hanna. Bagaimana dia nantinya, bagaimana langkah selanjutnya hingga menanyakan bagaimana perasaan Hanan sebenarnya."Jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta dengan istrimu?"
"Mana bisa seperti itu, apalagi setelah mengetahui hal ini,"
Pak Rosyid medengus kesal lagi. Dia tidak merasa tidak mendapatkan jawaban yang pas untuk setiap pertanyaan.
Hanan sendiri masih benar-benar bingung dengan situasi dia saat itu. Harus bagaimana dan berbuat apa?
Di satu sisi dia ingin mengatakan kebenaran tentang pernikahan mereka berdua. Di satu sisi lagi, dia sudah merasa menjadikan Zahwa sebagai kewajibannya.Iya, jika Zahwa mengerti. Mereka bercerai misalnya, secara baik-baik. Lalu Zahwa meneruskan hubungan dengan kakaknya tanpa perlu memikirkan Hanan lagi, yang berubah status nya sebagai adik iparnya.
Tapi jika Zahwa emosional. Apa itu akan membuat banyak perpecahan. Hanan akan cerai dan Zahwa akan pergi entah kemana. Lalu Surya juga akan sakit hati sebab merasa di hianati, dan Zahwa sudah tidak lagi ingin berhubungan dengan kedua saudara tersebut.
Semua runyam. Tidak ada titik terang."Sebaiknya kamu jangan menyimpan ini terlalu lama. Takutnya saat kamu mulai jatuh cinta dengan Zahwa, dan kamu akan lebih sulit untuk melepaskan," nasihat Pan Rosyid.
Hanan memandang nanar ke arahnya.
Saat ini yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya semua masalah ini tidak bisa menyakiti hati Zahwa. Bagaimana caranya, agar dia tetap baik-baik saja, dan menerima dengan lapang dada.Sayangnya, Hanan masih belum faham betul apa yang membuat bahagia Zahwa. Apa keinginan dia, dan apa yang akan dia lakukan setelah mengetahui jika kakaknya adalah kekasihnya juga.
Pak Rosyid berpamitan. Dia tidak memiliki banyak waktu berbincang dengan Hanan. Pengacara menang selalu begitu, sebab satu deringan telpon saja itu sangat berarti bagi dirinya dan keluarganya. Alias, dia sudah memiliki janji dengan Klian lainya.Pak Rosyid meminta Hanan untuk lebih tenang dalam menghadapi persoalan tersebut. Dia tahu, Hanan bisa berpikir dengan bijak.
Namun kenyataannya Hanan saat itu sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Dan itu semua terlihat jelas di raut wajah Hanan.
Setidaknya hari itu Hanan mengetahui kenyataan. Jika dia adalah bukan pilihan, namun hanya sebatas kesalahan. Mengenaskan sekali nasibnya, hanya sebagai cadangan yang sewaktu-waktu bisa langsung di singkirkan.
Hanan masih terpaku di tempat duduknya, dia mengingat lagi bagaimana prosesi pernikahannya dengan Zahwa yang terlewat sederhana. Hanya dia, Zahwa, paman Zahwa, ayahnya dan saksi dari KUA. Yang lainya orang-orang kepercayaan keluarga dan entah dia tidak bisa mengingat satu persatuannya.
Ingatannya kembali berpindah di saat dia meminta Zahwa untuk membersihkan kamar kakaknya. Saat itu Hanan masih belum curiga, jika Zahwa memiliki hubungan dengan kakaknya. Dia masih mengira, jika Zahwa real titipan dari orang tuanya.
Tetapi setelah Zahwa mengetahui kamar kakak iparnya, dia mulai antusias bertanya siapa kakak iparnya. Tentang desain kamar dan yang paling menonjol adalah tentang kotak biru tersebut.
Hanan ingat betul, bagaimana Zahwa merasa nyaman sekali ada di kamar kakaknya. Bahkan sampai ketiduran. Belum lagi dia seakan tertarik untuk terus ada di dalam kamar tersebut.Wajar saja, bukankah kamar itu memang untuk dirinya. Kakaknya memang khusus mendesain kamar tersebut untuk calon istrinya, yang tak lain adalah istrinya sekarang.
Permainan dunia memang sulit di tebak. Dia selalu memberikan kejutan tak terduga bagi penghuninya.
***
"Mas aku ikut ke kantor, ya?"Tiba-tiba di pagi buta pernyataan itu datang dari Zahwa. Hanan baru saja selesai mengganti piyamanya dengan kemeja kerja.
Sengaja Hanan melambatkan aktifitasnya sebab masih malas jika bertemu dengan kakaknya. Apalagi jika harus berhadapan dengan sepasang kekasih yang pasti dalam keadaan pura-pura menjadi orang asing.
Hanan tidak langsung menjawab pertanyaan Zahwa. Dia kembali ke sofa, lalu mengambil berkas yang akan ia bawa ke kantor.Dia atas meja ada secangkir kopi yang sudah kehilangan uapnya. Zahwa sudah menyiapkan hal itu. Lalu ada dua lapis roti bakar berikut selainya. Sarapan untuk Hanan, yang menolak turun sebab beralasan sedang mengejar target kerjaan.
Zahwa masih mematung, dia menatap suaminya penuh harapan.
"Kenapa tiba-tiba, biasanya juga di rumah?" tanya Hanan. Dia menghabiskan kopi miliknya. Mengambil roti bakar lalu berlahan melahapnya.
"Ingin saja. Bosan di rumah," jawab Zahwa.
Ini kali pertama Zahwa memperlihatkan sifat manjanya di hadapan Hanan. Dia sedang mencari perhatian suaminya. Dia pun ikut membereskan berkas yang akan Hanan bawa ke kantor. Memasukkan ke dalam tas kantor suaminya.
Hanan masih belum mengerti apa yang Zahwa inginkan. Tiba-tiba sekali dia meminta hal seperti itu. Bukankah akan lebih leluasa juga jika Hanan pergi ke kantor, dengan begitu dia memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Surya, kekasihnya.
"Ya, Mas. Aku ikut ke kantor," mohon Zahwa lagi.
Ada sedikit perasaan senang dalam diri Hanan. Sebab Zahwa seakan memilih bersama dengan dirinya ketimbang dengan kakaknya.
"Hari ini tidak bisa, lain kali saja," tolak Hanan.
Dia sudah bangkit dari duduknya. Tas kerjanya sudah dia bawa, membersihkan mulutnya di depan kaca, lalu membenarkan penampilannya.
Sedang Zahwa, dia seperti bayangan yang mengekor kemana langkah Hanan beranjak."Aku tidak akan mengganggumu, tidak juga akan merepotkan kamu. Di dalam ruangan kantor seharian juga tidak apa-apa," bujuk Zahwa. Dia belum menyerah.
"Tidak Zahwa! Tidak untuk hari ini. Jika kamu bosan, kamu bisa keluar kemana pun yang kamu suka. Tidak apa-apa, aku mengizinkan. Tapi untuk ikut ke kantor, Maaf!" Hanan agak berseru saat mengucapkan hal itu.
Dia ingin Zahwa bisa lebih tegas lagi dalam menghadapi situasi ini. Hanan juga ingin Zahwa sendiri nantinya yang menentukan ke mana arah dia selanjutnya. Bersama suaminya, atau kembali pada kekasihnya.
Zahwa dia terpaku setelah mendengarkan seruan dari Hanan. Dia merunduk. Hanan takut dia menangis, namun dia pun tak kuasa jika lebih perhatian dengan istrinya. Dia harus tega, sebab itu juga untuk kebaikannya.
Pura-pura tidak peka, Hanan melayangkan langkah keluar kamar. Sebab jika mengetahui Zahwa selemah itu, itu akan membuat dia ikut lemah juga."Kalau begitu apa boleh aku ikut keluar?" tanya Zahwa.
Ternyata dia masih kuat. Dia mengikuti Hanan dari belakang.
"Aku sudah bilang, kan kamu boleh ke mana saja. Asal pulang jangan malam-malam,"
Saat seperti itu mereka layaknya sepasang suami istri yang sesungguhnya. Seorang istri yang meminta izin sekaligus berpamitan untuk keluar rumah. Sedang suami memberikan izin, lengkap dengan nasihat yang harus istri dengarkan dan lakukan.
"Baiklah, terima kasih. Aku akan pulang sebelum Mas Hanan pulang dari kantor," kata Zahwa.
Hanan tersenyum puas, namun dia sembunyikan hal tersebut. Ada kelegaan mendengar hal itu dari mulut Zahwa. Dia seperti istri yang sesungguhnya.
Saat mereka melewati meja makan. Tidak ada siapapun, hanya ada hidangan yang seperti pajangan."Mas Surya tidak sarapan, Bik?" tanya Hanan setelah melihat Bik Asih datang dari arah belakang dapur. Beliau baru saja dari halaman samping rumah.
"Belum turun mas, mungkin sebentar lagi."
Hanan ber'oh' saja.
Zahwa diam saja, dia berusaha bersikap biasa saja. Meskipun tetap saja, ada gelagat aneh saat Hanan menyebutkan nama Surya. Atau barangkali dia pun menyimpan ke khawatirannya terhadap kekasihnya itu?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Calon Ipar
RomanceMenikah secara mendadak bukanlah keinginan setiap orang. Tapi Zahwa dan Hanan harus mengalami itu semua. Sebab pernikahan mereka adalah wasit terakhir kedua orang tua mereka. Tidak saling mengenal, bahkan pertama kali bertemu mereka diminta oleh me...