*Seperti pagi yang selalu datang, begitulah harapan.*
Apa yang di inginkan manusia dengan kehidupannya? Kebanyakan akan menjawab bahwa mereka menginginkan kebahagiaan seperti mereka, mereka yang di anggapnya telah bahagia dan selalu sempurna hidupnya.
Padahal, setiap orang memiliki liku-liku yang berbeda. Begitupun porsi dalam setiap masalahnya. Namun, tidak semua orang bisa memahami hal itu.
Seperti saat ini. Mereka mengira bahwa Zahwa begitu beruntung, seperti kejatuhan duren segar. Karena telah berhasil menikahi seorang arsitek muda.
Andai mereka bisa mengetahui bagaimana rasa menjadi Zahwa saat ini. Mungkin mereka akan mengeluhkan hal yang sama. Namun, biarlah Zahwa saja yang mengetahuinya. Karena dengan nasib yang sama pun, terkadang tidak bisa mewujudkan sebuah kenyataan yang sebenarnya.
Pagi begitu cerah, Hanan terlihat memakai kemeja putih dan kaca mata sedang duduk di ruang tengah fokus dengan Leptop di depannya. Jari-jarinya lincah di atas keyboard Laptop dan sesekali menatap kertas dokumen yang dia letakkan di samping Laptop.
"Mas Hanan, ini kopinya," Zahwa datang dengan meletakkan secangkir kopi panas di atas meja.
"Terima kasih," balas Hanan. Dia terlalu fokus dengan pekerjaan, sampai kehadiran Zahwa, tidak sedikitpun menyita matanya untuk sekedar melirik istrinya tersebut.
Merasa terabaikan dan takut mengganggu, Zahwa undur diri. Kembali ke belakang dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang belom sempet ia selesaikan.
Sekitar pukul setengah delapan, Hanan sudah siap berangkat ke kantor. Dia mencari Zahwa untuk berpamitan.
"Zahwa?" Panggilnya.
"Iya, Mas" balas Zahwa segera pergi ke ruang tamu untuk memenuhi panggilannya.
"Aku berangkat ke kantor, kalo kamu ingin pergi belanja atau apalah terserah, pakai ini," kata Hanan.
Dia menyodorkan satu kartu ATM kepada Zahwa. Dengan ragu, dia menerimanya.
"Ini sudah atas namamu, ayah sudah membuatkan ini. Staf bank yang memberikan itu beberapa hari yang lalu. Jadi kamu tidak perlu sungkan," jelas Hanan.
Hana mengernyit dahinya. Bisa-bisa dia berbohong mengatakan jika ATM itu dari orang tuanya. Setinggi itukah harga dirinya? Sampai malu mengatakan jika dia sendiri yang sedang membuatnya untuk diri Zahwa.
Tapi pada akhirnya, hanya kata terima kasih yang bisa Zahwa jawab, "Terimakasih, mas."
"Aku sudah telah, aku harus segera berangkat ke kantor. Assalamualaikum," salam Hanan seraya beranjak dari tempatnya dan berlalu begitu saja meninggalkan Zahwa.
"Waalaikumsalam, hati-hati mas," balas Zahwa yang mengikuti langkah suaminya hingga ke teras depan.
Ingin dia mencapai tangan Hanan untuk mencium telapak punggungnya, tapi dia cepat sekali berlalu. Mengendarai mobilnya dan meninggalkan pekarangan rumah.
Zahwa hela nafas panjang, "Begitu,kah caranya memperlakukan istrinya?" desisnya.
Setelah kepergian suaminya. Zahwa melakukan aktifitas seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Menyapu, mengepel, dan juga mencuci baju.
Cukup menguras tenaga, apalagi Zahwa tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendiri. Dulu, di rumahnya ada asisten rumah tangga yang mengurus semuanya. Tapi saat ini, dia harus melakukannya sendiri dan terbiasa dengan hal seperti itu.
"Ini masih beberapa hari aku tinggal disini, tapi rasanya badanku sudah pegal-pegal semua,'' keluhnya dengan memegangi tengkuknya dan memutar kepalanya untuk mengurangi rasa pegalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Calon Ipar
RomanceMenikah secara mendadak bukanlah keinginan setiap orang. Tapi Zahwa dan Hanan harus mengalami itu semua. Sebab pernikahan mereka adalah wasit terakhir kedua orang tua mereka. Tidak saling mengenal, bahkan pertama kali bertemu mereka diminta oleh me...