Bab 21: Hati Yang Bertengkar.

15 2 0
                                    

#Surya Abimanyu

Kepulangan Surya memang benar sebab wafat orang tuanya. Saat itu dia tidak langsung bisa pulang ke Indonesia sebab menunggu jadwal wisuda.

Hanan meminta kakaknya untuk pulang sekalian menyelesaikan wisuda. Toh, pulang pun mereka sudah tidak ada. Cukup doa, yang di minta untuk terus menggema.

Penyesalan pastilah ada. Sebab Surya selama ini masih sering mementingkan egonya untuk melanjutkan studinya. Apalagi dia jarang sekali mengirimkan kabar, apalagi menanyakan kabar tentang keadaan mereka.

Selama ini Surya sibuk menekuni dunianya. Sibuk dengan mereka yang dia anggap bisa meningkatkan level kecerdasannya.

Hingga lupa, jika Surya yang sekarang adalah sebab adanya keikhlasan orang tuanya untuk merajut mimpi-mimpinya.
Dia terbunuh waktu yang dia anggap singkat jika ia buang sia-sia. Berharap cepat menyelesaikan pendidikannya dan membawa gelar yang akan membuat keluarganya bangga. Tapi nyatanya gelar itu sama sekali tidak berguna.

Pemakaman itu sepi. Hanya menyisakan ranting dan gesekan dari ranting pepohonan. Terlihat juru kunci sedang membersihkan satu persatu makam. Mencabuti rumput yang mulai panjang.
Bunga Kamboja berguguran, meskipun begitu wanginya tetap semerbak masuk ke rongga penciuman. Langkah Surya mulai melewati makam demi makam.
Dia bertanya pada juru kunci di mana makam orang tuanya berada. Dia menyebutkan nama orang tuanya pun tanggal kematiannya.

Juru kunci tersebut mengatakan jika pada tanggal tersebut ada empat kematian yang di minta untuk menguburkan dengan sejajar. Barulah Surya tahu, jika orang tua Zahwa yang di makamkan sejajar dengan orang tuanya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan makam orang tuanya. Sebab dia langsung menemukan sosok yang sejak tadi pagi sedang ia cari.
Zahwa dia ada di sana. Dia sedang merunduk berkomat-kamit membaca doa.

"Zahwa?'' panggilan Surya sukses membuat Zahwa terkejut.

Buru-buru Zahwa mengusap pilih air matanya yang tadinya menggenang.

"Mas Surya, kenapa ke sini?'' tanya Zahwa.

"Aku juga ingin bertemu orang tuaku," jawab Surya seraya berjongkok di samping Zahwa.

Surya menatap empat gundukan tanah di depannya. Di batu nisan mereka memiliki waktu lahir yang berbeda, tapi memiliki waktu kematian yang sama.
Surya merasa tenang saat mengetahui jika Zahwa tenang saja saat dia duduk di sampingnya. Dia pun tidak berbicara apapun saat Surya mulai membaca Yasin, tahlil dan doa. Mereka seperti anak yang sedang berziarah ke makam orang tuanya.

"Kamu tahu, hal yang paling menyakitkan dari seorang anak adalah di saat dia tidak di berikan kesempatan untuk membahagiakan orang tuanya," kata Surya setelah dia menyelesaikan ritual doanya.

"Kenapa Mas Surya tidak langsung pulang saat itu?" tanya Zahwa.

Surya sejenak diam. Dia larut dalam tatapan Zahwa yang menginginkan jawaban dan keinginantahuan.

"Aku ingin. Tapi Hanan mencegahku, sebab percuma juga aku pulang. Mereka meninggal tanpa meninggalkan tanda-tanda, saat itu juga," jawab Surya.

Zahwa diam. Dia menekuk wajahnya, melihat tanah di bawahnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Masih betah disini?" tanya Surya tiba-tiba.

Zahwa mengangkat wajahnya, menatap Surya. Kali ini dengan tatapan iba.
Baru kali ini, Surya melihat Zahwa sepasrah itu. Dia seperti kehilangan keceriaan dan juga jati dirinya. Zahwa berubah, tidak lagi seperti yang Surya kenal dulu.

"He,eh. Aku rindu dengan ibu, dengan Ayah. Selama ini hanya mereka berdua yang mengerti aku, tanpa aku harus menjabarkan keinginanku. Namun saat ini mereka telah tiada. Aku tidak mempunyai siapa-siapa, aku sendiri di dunia," jawab Zahwa sambil menatap nanar ke arah batu nisan ke dua orang tuanya.

Surya terperangah. Dia ingin merengkuh tubuh ringkih itu, dia ingin menghapus air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Dia ingin menenangkan dirinya, bahwa masih ada dirinya yang akan terus bersamanya. Namun, nyatanya dia hanya bisa membayangkan itu semua. Nyatanya Surya hanya dia saja saat melihat wanita yang ia cintai menangis begitu saja.

"Kamu tidak sendirian, Zahwa. Masih ada aku," kata Surya. Zahwa menatap Surya, matanya penuh harapan akan kata-kata Surya.

"Dan juga Hanan. Kami berdua, tidak akan meninggalkan kamu sendirian," lanjut Surya.

Dan itu membuat nafas Zahwa lolos begitu saja. Seakan dia menyesal dengan kalimat yang terakhir Surya lontarkan.
Senyap. Tak ada suara. Mereka berdua berperang dengan perasaan masing-masing.

Mata Zahwa masih menyimpan perasaan tulis untuk Surya. Dia pun bisa merasakannya. Surya pun masih sangat yakin, jika wanita di depannya adalah pemilik tahta paling tinggi di hatinya. Namun saat ini, perasaan itu harus ia simpan dalam. Mengubur dalam, sebab Zahwa saat ini sudah menjadi status orang.

"Mas ..." Suara Zahwa memanggil Surya pelan.

"Iya, Zahwa?" tanya Surya.

Zahwa diam lagi. Kebisuan merajai lagi. Dia ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Tenggorokannya seakan tersekat tidak bisa melanjutkan ucapannya.

Zahwa sedang merangkai kata-kata, dia sedang berperang melawan hatinya. Sulit memang menemukan titik kebenaran, sebab hati dan pikiran kadang tak selaras dengan dalam mencari jawaban. Hal itulah yang membuat manusia bimbang dalam memutuskan pilihan.

Mereka masih saling memandang, namun tiba-tiba mata Zahwa buram. Dia terkulai ambruk tak sadarkan diri. Surya dengan sigap menangkap tubuh Zahwa yang tak sadarkan diri.

Melihat situasi seperti ini, Surya harus memecahkannya. Dia tidak ingin Zahwa lebih terbebani dengan permasalahan yang runyam ini.

"Zahwa, mau ikut aku?" tawar Surya.

"Kemana?"

"Ikut saja, lama kan kita tidak jalan berdua," jawab Surya.

Zahwa diam. Dia pasti ragu akan ajakan Surya. Pastilah, sebab dia sudah bukan Zahwa yang menjadi kekasihnya.

"Soal, Hanan. Aku sudah izin padanya tadi," kata Surya.

Senyum mengembang dari bibir Zahwa. Ternyata benar, dia sedang memikirkan tentang izin kepada suaminya.

Zahwa masih tahu batasannya. Meskipun Surya adalah kakak iparnya, tapi dia tidak lupa. Jika Surya juga kekasihnya. Itu semua tidak bisa di pungkiri apalagi di lupakan begitu saja. Terlebih perasaannya yang masih sama, perasaan itu masih ada.

"Mas Surya bawa mobil?" tanya Zahwa.

"Bawa. Sengaja, biar biasa sekalian ngajak kamu jalan," jawab Surya.

"Dari mana mas tahu aku di sini?" tanya Zahwa.

"Hanan yang bilang padaku," jawab Surya.

Sampai di dekat mobil Surya. Zahwa nampak ragu-ragu. Dia meremas kerudungnya, kakiku kelu untuk melangkah lebih jauh lagi.

"Tidak apa-apa, kan? Tidak akan terjadi apa-apa, kan?" tanya Zahwa ragu.

Surya menggeleng. "Tidak akan ada apa-apa, Zahwa. Percaya padaku," jawab Surya meyakinkan.

Hal yang masih sulit untuk dibantah oleh Zahwa sendiri, adalah kepercayaannya pada Surya. Perempuan yang sudah berstatus istri orang itu, masih sangat mencintai laki-laki di depannya. Melebihi siapa pun juga.

Menikahi Calon Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang