Bab 12: Dia Kembali.

13 2 4
                                    


*Jika daun berguguran jatuh karena kehendakNYA, maka takdir yang ada pada diri ku adalah kehendakNya.*
Hanan Al Faruq

Hanan melihat Zahwa ketakutan saat matanya menangkap mata Zahwa yang tidak sengaja melihatnya. Sebenarnya, Hananlah yang harus terkejut. Zahwa meminta tolong, untuk membenarkan shower yang rusak. Hanan kira, Zahwa sudah berpakaian tapi nyatanya di menyempil di pojokan kamar mandi, di balik pintu dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya.

Tubuhnya masih basah, rambutnya apalagi. Berantakan, namun semakin membuat Hanan ingin menerkamnya.
Jantung Hanan seketika berhenti menatap Zahwa di saat itu. Desiran hawa panas langsung merasuk sanubari.

Menggerakkan sesuatu dari beberapa anggota dalam tubuh Zahwa. Hah! Hanan segera menepis rasa itu saat Zahwa meneriakinya agar cepat berlalu.
Langkah Hanan cepat, tapi tercekat.

Pintu kamar mandi kembali tertutup rapat. Namun, menyisakan pengap. Nafas Hanan tersengal, dia ambil air putih di atas nakas. Meneguknya hingga tandas. Namun, tetap saja tubuhnya panas, dingin.

Rasanya tidak ingin bertemu untuk sementara. Namun terlanjur membuat dia menemaninya untuk pergi keluar. Ada hal yang harus Hanan selesaikan, dan itu tidak jauh tentang Zahwa.

Hidup Hanan mulai berjalan di tempat setelah kehadiran Zahwa. Pergi, tidak bisa bertahan pun tidak mungkin.

Zahwa melihat matanya berbinar ketika melihat satu kalung yang melingkar di patung leher di toko perhiasan malam itu. Dia terus menatapnya, mungkin dia suka. Tapi dia diam, tidak meminta.

Saat Hanan memilih cincin, Zahwa tidak peduli. Padahal Hanan ingin Zahwa yang memilih sendiri. Akhirnya, Hanan meminta karyawan wanita itu mengeluarkan koleksi terbaik di toko ini.
Karyawan itu mengeluarkan tiga pasang cincin couple. Mata Hanan langsung tertarik pada satu pasang cincin dengan ukiran dan mutiara satu di tengahnya.

Hanan melihat Zahwa masih berpatroli melihat perhiasan lainnya. Mungkin, begitulah sifat wanita. Suka dengan sesuatu, namun malu untuk mengatakannya.

Tanpa permisi, Hanan langsung menarik tangan Zahwa mencopot cincin nikah di jari manisnya dan menyelipkan cincin baru itu di jari manisnya.

Zahwa terkejut, matanya melotot tidak suka. Entah karena tarikan Hanan yang terlalu lancang, atau karena cincin yang tiba-tiba Hanan pasang?

"Ini bukan milikku, ini yang milikku," katanya seraya melepas cincin baru itu dan memungut lagi cincin kawin mereka dan memasangnya lagi di jari manisnya.
Perkataannya memang sederhana.

Namun, entah mengapa cukup membuat hati Hanan bangga. Tanpa berkata, Hanan langsung meminta pelayan itu membungkus cincin pesanannya.

"Untuk pembayarannya silahkan langsung ke kasir," kata karyawati setelah memberikan nota pembayaran kepada Hanan.

Langkah Hanan langsung menuju kasir, menyelesaikan transaksi. Saat menunggu kasir itu mengecek pesanan Hanan, matanya kembali tertuju pada Zahwa.

Dia masih memandang satu kalung yang sedari tadi mencuri pandangannya.

"Saya mau menambahkan pesanan, Mas," kata Hanan saat kasir laki-laki itu mulai memberikan paper bag berisi cincin tersebut.

"Oh, silahkan pak. Mau menambahkan apa lagi?" tanya dia dengan hormat.

"Itu, kalung yang sedari tadi di lihat istri saya. Tapi, mohon jangan memberitahukan tentang itu kepadanya," pinta Hanan dengan menunjuk satu kalung.

Saat itu, Zahwa masih anteng di posisinya. Tanpa peduli dengan Hanan yang sedang bertransaksi.

"Oh. Baiklah pak. Tunggu sebentar," balas kasir tersebut.

Kasir laki-laki itu berbicara dengan teman karyawatinya meminta untuk mengambil kalung yang Hanan maksudkan. Saat karyawati itu mengambil kalung itu, Hanan melihat Zahwa melemas seketika. Matanya memperlihatkan kekecewaan saat kalung itu hilang dari pandangannya. Barulah saat itu dia mulai mencari keberadaan Hanan.

Untunglah saat kalung itu sampai di tangan Hanan, Zahwa tidak menyadari.

Selepas dari toko itu, Hanna mengajak Zahwa makan malam. Malam itu untuk pertama kalinya mereka makan di luar, dan keluar bersama. Tidak ada yang istimewa, mereka masih bertahan dengan kesunyian.

Paginya Hanna menulis di secarik kertas. Cukup menyita waktu karena dia tidak segera menemukan alasan tentang kalung yang dia sengaja belikan untuk Zahwa.

Tidak mungkin Hanan mengatakan,"bahwa ini untuk dirimu, wahai istriku". Itu terlalu mainstream.

Tidak cocok dengan image Hanan yang sekarang di mata Zahwa. Itu juga akan membuat Zahwa melambung tinggi karena telah mengira bahwa Hanan sudah jatuh di dalam kekuasaan.

Akhirnya, Hanan menulis kata yang cukup menggores luka. Tapi, itu akan terkesan tidak sengaja.

*Pakai kalung ini. Kemarin tidak sengaja ada sisa uang pembayaran cincin kakak ku*

Kata itu tidaklah panjang, tapi sukses membuat banyak lembar kertas kosong tidak lagi bisa dia gunakan.

Sebelum turun untuk sarapan, Hanan menuntut semua kertas-kertas tersebut. Tidak mungkin dia meninggalkan kertas itu tetap di kamar. Akan dia jauh dari jangkauan Zahwa.

Baru saja Hanan sampai di kantor, ada pesan masuk dari Zahwa. Pasti dia sudah menemukan kalung itu di atas nakas kamar.

*Zahwa*
[Terimakasih,Mas. Kalungnya bagus, aku suka (emoticon bahagia)]

Hanan bisa membayangkan jika saat ini dia sedang bahagia tidak kepalang. Mungkin juga jingkrak-jingkrak kegirangan. Membayangkan hal itu saja, sudah membuat mood Hanan naik seketika.

"Bos, kok senyum-senyum sendiri? Apa klain kita puas dengan hasil kerja kita?" tanya Aldian.

Tidak sadar, jika dalam ruangan Hanan sudah berdiri Aldian dengan membawa berkas di tangannya.

Dia sekretaris, dan juga teman seperjuangan Hanan sejak di kampus dulu. Keluar masuk ruangan tanpa ketuk pintu menjadi kebiasaannya sejak dulu. Sejak hari kemarin itu tidak masalah bagi Hanan, tapi tiba-tiba Hanan terusik saat tiba-tiba dia datang tanpa di duga seperti itu.

''Sebenarnya ada apa, Bos? Akhir-akhir ini aku melihat ada sesuatu yang mencurigakan dari tingkah laku mu?" selidik Aldian.

"Tidak ada apa-apa. Semua sama saja. Apa yang kamu bawa? Berkas dari PT Angkasa raya, kah?" tanya Hanan.

Mencoba mengalihkan topik mereka.
Tanpa bersusah payah, Aldian langsung menjelaskan berkas-berkas yang dia bawa. Hanan menyukai kinerjanya, dia selalu fokus saat Hanan tanyakan soal pekerjaan mereka.

Di tengah-tengah penjelasannya aku menyempatkan untuk membalas chat dari Zahwa. Sengaja juga, untuk membuatnya lama mendapatkan balasan chat dariku.

[Ok]

Singkat padat, namun tetap aku tatap hingga pesan itu mendapat centang dua biru. Belum juga ada satu menit, dia mengirim pesan lagi.

*Zahwa*
Sebenarnya, aku suka dengan kalung yang di sebelahnya, Mas. Tapi tidak apa-apa. Ini juga bagus.(emoticon menjulurkan lidah)

Tanpa sadar bibir Hanan tertarik ke atas sebelah. Hanan merasa jika Zahwa mulai berani kepadanya. Rasanya Hanan ingin sekarang juga melihat reaksi Zahwa saat ini.

"Bagaimana, Bos? Apa ini cukup bagus?" tanya Aldian.

Hanan angkat wajahnya dan kembali fokus pada Aldian. Sejak tadi Hanan tidak mendengar penjelasan Aldian. Chat dari Zahwa menyita konsentrasinya.

"Ok. Aku serahkan pada mu." Balas Hanan.

Aldian merasa ragu, dia menggaruk tengkuknya. Hanan menyalurkan keyakinannya, dengan memberikan senyum simpul.

"Baiklah, Bos. Tanda tangan saja kalau begitu," kata Aldian sambil menyerahkan berkas itu kepada Hanan, untuk dia tanda tangani.

Setelah Aldian keluar ruangan. Hanan kembali melihat ha-pe-nya. Ingin membalas pesan Zahwa, namun terhenti seketika saat ada pesan baru masuk di WhatsApp-nya.

*Kakak*
[Aku akan kembali malam ini. Tolong jemput aku nanti malam di bandara.]

Tulis pesan tersebut.

Menikahi Calon Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang