Bab 24: Pergi Tanpa Pamit.

9 2 0
                                    

Zahwa tidak berkata lagi. Hatinya benar-benar terasa sakit mendengar pernyataan suaminya itu. Tanpa menunggu lagi dia pergi dengan tergesa.

Surya melihat Zahwa menaiki tangga dengan terlihat marah. Dia langsung bergegas melepas celemeknya. Langsung pergi menemui Hanan.

"Ada apa dengan Zahwa?Dia terlihat marah?" tanya Surya.

"Tidak apa-apa. Dia memang suka begitu," jawab Hanan santai. Dia bahkan tidak mengindahkan kehadiran kakaknya.

Surya geram melihat Hanan seakan tidak peduli. Apalagi itu menyangkut Zahwa yang sudah menjadi istrinya.

"Hanan! Aku serius. Kau apakan Zahwa sampai terlihat marah seperti itu?" tanya Surya mulai emosi.

Hanan menghela nafas. Sejak tadi dia sudah menahan amarahnya sebab tingkah kakaknya dan istrinya. Mereka melakukan apa yang mereka inginkan, tanpa memperdulikan dia yang saat itu harus ada di antara mereka.

"Aku bilang tidak ada apa-apa. Kenapa Mas marah-marah? Kenapa kau begitu peduli dengan Zahwa. Sikapmu seakan kau takut aku menyakitinya,"

Surya tercekat mendengar pertanyaan Hanan. Dia terlalu terbawa emosi. Ke khawatiran tentang  Zahwa masih terlihat nyata.

"Dia amanah terakhir orang tua kita. Jadi kita harus menjaganya. Jangan sampai menyakiti nya," alasan Surya.

"Kita?" tanya Hanan dengan menekan.

"Sepertinya hanya aku. Zahwa hanya di amanah saja kepadaku. Jadi tolong! Jangan lagi terlalu ikut campur dengan urusanku dan Zahwa! Mas Surya mengerti!" Seru Hanan

"Dia sudah menjadi anggota keluarga kita. Sudah sepantasnya aku juga ikut campur dengan masalah ini. Apalagi caramu tadi sungguh keterlaluan,"

"Dia memang keluarga kita dan ingat dia istriku. Hanya aku yang boleh melakukan  apapun untuk dirinya. Entah itu menyenangkan atau menyedihkan," ujar Hanan. Dia emosi.

Sampai kapan kakaknya akan terus ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Lagi pula, jika memang kakaknya dan istrinya ingin kembali bersama itu juga bukan urusannya. Lebih cepat lebih baik. Sebab bagi Hanan, dia posisinya saat ini juga sangat tidak menguntungkan.

"Tapi,"

"Aku sudah membelikan cincin pernikahan untukmu, sesuai pesananmu. Jangan lupa, kau harus menemui calon istrimu itu. Tentang Zahwa biar menjadi urusanku," kata Hanan, memotong pembicaraan kakaknya dan kemudian beranjak pergi. Membawa laptop dan juga secangkir kopi miliknya.

Daam!

Surya memukul tembok di sampingnya untuk melampiaskan amarahnya.

Dia benar-benar merasa tidak berguna. Beberapa menit lalu dia bisa mengubah suasana hati Zahwa . Berusaha untuk bisa membuatnya tersenyum dan bahkan bersemangat. Tapi adiknya malah sebaliknya.

Jika begini terus, keinginan untuk terus melindungi Zahwa semakin besar. Dia tidak bisa kalau harus melepaskan begitu saja.
Hanya dia yang bisa membuatnya bahagia, tidak ada orang lain lagi. Termasuk Hanan, meskipun dia suaminya.

Surya memutuskan untuk kembali ke dapur. Menyelesaikan masakan yang sempat tertinggal.

Sedang Zahwa di kamar dia melempar tubuhnya ke kasur. Tengkurap dan menutup wajahnya di balik bantal.

Dia begitu ingin marah. Tapi dia sendiri tidak tahu kenapa dia begitu marah.

Azan magrib berkumandang. Zahwa beranjak dari tempat tidurnya. Pergi untuk wudhu. Menggunakan mukena dan kembali duduk di tepi ranjang.

Biasanya dia jama'ah dengan Hanan. Untuk pertama kalinya Hanan marah seperti itu. Entah itu memang marah atau sikapnya memang seperti itu.

Tetapi, hari-hari yang lalu dia pun juga bersikap dingin. Berbicara seadanya dan seperlunya. Tidak ada yang istimewa.
Atau mungkin karena belum terbiasa. Umur pernikahan masih dini. Belum lagi pernikahan mereka yang secara tiba-tiba. Memperkenalkan diri saja tidak sempat, apalagi mengerti satu sama lainya.

Menikahi Calon Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang