Keegoisan Hati

15 2 0
                                    

Takdir memang terkadang membuat kita gila, dengan memberikan pilihan yang sama-sama kuatnya.

Zahwa melangkah menuju ruang makan. Hanan sudah terlebih dulu sampai disana. Mengambil nasi, menambah lauk dan mulai makan. Tanpa pikir panjang, Zahwa mencari tempat di kursi depannya. Melakukan hal yang sama dan mereka menikmati hidangan yang telah di sediakan.

Hari ini Bik Asih menyuguhkan makanan kesukaan Zahwa. Ayam bumbu kecap, rasanya sudah lama dia tidak merasakan masakan itu.

Zahwa melihat makanan di piring Hanan sudah habis setengahnya. Dia ingin menawarkan untuk menambah nasi.  Tapi Hanan sudah lebih dulu mengambilnya sendiri.

Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat suaminya lahap makan. Walau benar, bukan dia yang memasak. Tapi rasanya, ada kebanggaan tersendiri, saat Zahwa memutuskan untuk memanggil Bik Asih, untuk bekerja bersama mereka.

Ingin sekali Zahwa berbincang dengan suaminya. Tapi dia bingung, topik apa yang pas untuk membuka perbincangan.
Ada rasa takut, jika ternyata pembicaraannya nanti, hanya akan menghasilkan kegaringan saja.

Tiba-tiba Zahwa teringat dengan kamar kakak iparnya, mungkin membicarakan soal desain kamar tersebut, bisa memecah kesunyian mereka.

"Mas, kalau boleh tau yang mendesain kamar kakak ipar, siapa ya?" tanya Zahwa hati-hati.

Dia penasaran siapa orang yang mendesain kamar itu. Kamar itu seperti kamar impiannya.

Hanan tidak kunjung di jawab oleh pertanyaannya. Zahwa berpikir, dia bahkan tidak peduli dengan pertanyaan tersebut. Rasanya sia-sia Zahwa bertanya pada dirinya.

"Dia sendiri yang mendesain kamar itu, kenapa?'' tanya Hanan.

Setelah sekian menit, Hanan diam dan hanya makan. Tiba-tiba langsung menjawab pertanyaan Zahwa, berikut pertanyaan lagi untuknya.

Piringnya sudah kosong. Tangganya kini sudah meraih buah jeruk yang ada di rak buah meja makan. Dia mulai mengupas jeruk tersebut. Baru tersadar, ternyata dirinya bukan tipe orang yang suka berbicara saat makan.

"Benarkah? Apa dia juga arsitek?" tanya Zahwa tidak percaya.

Ada rasa bangga kerena ternyata kakak iparnya memiliki selera yang sama dengannya. Zahwa merasa bahwa dia akan cocok dengan kakak iparnya. Selera mereka sama dan pastinya ada banyak hal yang lebih mengejutkan lagi, jika mereka bertemu nantinya.

"Iya. Dia juga seorang arsitek. Ada apa? Kenapa rasanya, kau tertarik dengan kakakku?"

Deg.

Belum juga Zahwa menanyakan soal kakaknya itu. Tapi, suamimya langsung menyimpulkan jika Zahwa tertarik pada kakaknya.

Genre kakak iparnya saja Zahwa belum mengetahuinya. Bagaimana Hanan langsung menyimpulkan seperti itu.

"Kamar itu di desain untuk calon istri kakakku. Dia akan melamar kekasihnya setelah kembali dari Cairo," tambah Hanan.

Ukhuk Ukhuk Ukhuk

"Hati-hati kalau makan!" Seru Hanan, dengan sigap dia memberikan air minumnya kepada Zahwa. Membantunya untuk meminumnya.

Zahwa tersedak ketika mendengar kata lamaran dan Cairo. Rasanya ada batu besar yang membuka pintu hatinya, yang sedang ia coba tutupi.

"Apa kakak ipar kuliah di Cairo? Sudah berapa lama?" tanya Zahwa tanpa jeda setelah dia rasakan lega.

"Lebih baik kau tanyakan langsung pada dirinya. Aku merasa sejak tadi kamu sudah banyak bertanya," sewot Hanan.

Zahwa menelan ludahnya sendiri saat mendengar jawabannya. Rasa penasaran berulang kali berkecamuk dalam pikirannya. Banyak pertanyaan dalam benak yang belum ia temukan jawabannya. Sedangkan, satu-satunya kunci jawaban acuh tak memberikan jawaban.

Hanan bangkit dari duduknya. Mata Zahwa masih mengekor kemana langkah kakinya beranjak. Dia menuju dapur, mencuci piring kotornya dan membuang kulit jeruk yang buahnya dia makan tadi.
Berbicara dengan Bik Asih, mengatakan jika setelah makan malam dapur harus kembali bersih. Makanan yang tersisa langsung berikan kepada satpam kompleks kami. Atau kepada siapapun, yang terpenting jangan di buang. Hanan  juga mengatakan jika dia tidak suka makanan lama.

Setelah itu, dia kembali ke meja makan. Menatap Zahwa yang masih dengan sisa makanannya.

"Jika kamu mau, kau bisa tidur di kamar itu. Aku sedang banyak kerjaan dan tidak ingin di ganggu oleh siapapun," tukas Hanan.

Dia bahkan tidak mengizinkan Zahwa untuk membalas perkataannya. Malah pergi begitu saja, dengan secangkir kopi panas di tangannya.

Zahwa melihat Bik Asih yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Setelah Hanan hilang dari hadapan mereka, zahwa mulai mengintrogasi Bik Asih.

"Tadi, Bik Asih bicara apa saja dengan Mas Hanan?" tanya Zahwa.

"Maaf, Non. Bik Asih tadi sempat keceplosan, kalau kamar yang barusan kita bersihin tadi, mirip dengan kamar Non di rumah," jawab Bik Asih, dengan rasa bersalah.

"Haduh ... kalau sudah begini, harus bagaimana coba? Masak gara-gara itu, aku di usir dari kamar," gerutu Zahwa.

Meskipun mereka belum terlalu akrab, Zahwa dan Hanan tidak pernah pisah ranjang. Layaknya suami istri yang tetap tidur di ranjang yang sama dan membagi kamar dengan barang-barang milik mereka.

Tapi, malam ini secara tidak langsung Hanan meminta Zahwa, untuk tidak tidur di kamar mereka. Dengan dalih, pekerjaan dia meminta Zahwa untuk tidak mengganggunya.

"Palingan, Mas Hanan kasihan dengan Non. Dari pagi, sudah bekerja, beres-beres rumah, ditambah harus membereskan kamar kosong itu tadi. Tadi, Non juga sampai ketiduran. Mangkanya, den Hanan meminta untuk istirahat di kamar lain, biar gak keganggu saat Mas Hanan masih bekerja,'' terang Bik Asih.

Zahwa hanya nyengir untuk mengiyakan perkataan Bik Asih. Beliau tidak faham, jika suaminya itu hanya mencari alasan saja. Zahwa tahu kegiatan suaminya setiap hari.

Biasanya setelah ini dia membaca buku, jika tidak di teras balkon berarti di kamarnya sendiri. Dia memberikan waktu istirahat otaknya untuk tidak terus bekerja. Menyeduh kopi dan membaca buku adalah salah satu yang dipilih Hanan untuk merilekskan pikirannya. 

Setelah urusan makan dan dapur selesai. Zahwa segera pergi lagi ke dalam kamar tersebut. Baru sadar, jika di dalam rumah ini tidak ada satupun foto keluarga.

Dinding di hiasi dengan kaligrafi, ada juga yang seperti rak kayu kecil, guci kecil, atau patung-patung kecil dengan beragam bentuk jenis hewan. Sepanjang koridor lantai dua dan satu, dikelilingi hiasan dinding yang bertulisan Asmaul Khusna. Membuat kesan religius dan rasa nyaman.

Tidak terasa kaki Zahwa sudah berada di depan kamar itu lagi. Berlahan dia mulai membuka kamar tersebut. Kembali ia mengedarkan pandang di setiap sudut ruang tersebut. Menyelami setiap ukiran dan tata letaknya. Semua itu persis seperti yang pernah ia impikan.

Zahwa duduk di tepi ranjang. Rasa yang beberapa hari dia mulai singkirkan tiba-tiba datang tanpa permisi. Sekelumit rasa rindu mulai beradu, ketika setiap momentum waktu yang lalu tiba-tiba berputar lagi di dalam benaknya.

Sebenarnya ada apa? Kenapa semua seakan membangkitkan kenangan, yang bahkan saat ini dia usahakan untuk cepat hilang.

"Bagaimana bisa terus-menerus kebetulan seperti ini? Jika begini terus, aku benar-benar bisa gila?!" Keluh Zahwa.

Otaknya sudah mengebul antara memikirkan kenangan dan juga masa depan.

"Aku masih belum memiliki alasan untuk menyampaikan luka. Aku pun juga belum siap menghadapi ketegaran jiwa. Bahkan aku belum siap di katakan penghianat cinta," Zahwa merancu seorang diri. Siapa yang akan memahami posisinya saat ini? Jika yang terjadi adalah tidak ada satupun yang mengetahui kebenaran hati dan hubungan yang ia simpan selama ini.

"Aku masih meniti, mana kesalahan yang aku perbuat hingga aku di takdirkan di kondisi seperti ini. Di sisi lain, aku adalah seorang istri dan sisi lainya lagi aku adalah seorang kekasih,"

"Sedang kedua lelakiku, bak permata yang jarang di temukan orang.
Sama-sama indahnya, sama-sama berharganya. Harga mati dan harga jiwa!" Rintihnya sendiri.

Zahwa merasa frustasi dengan keadaannya saat ini. Bimbang, mana nama yang harus dia sebut dalam doa? Bisakah dia menyebut dua nama sekaligus? Sedang kenyataan yang ada, adalah dia sedang menghianati mereka berdua.

Menikahi Calon Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang