Kamar Impian.

18 3 0
                                    

Tempat yang sama, terkadang membuat ingatan kembali mengingat hal yang tak seharusnya ada.

Zahwa berlahan membuka pintu kamar tersebut. Baru pertama membuka tercium bau hambar, mungkin terlalu lama tak di huni.

Baru saja kakinya melangkah. Matanya terpana menyorot ke penjuru arah kamar tersebut. Kamar dengan ukuran cukup besar. Dinding kamar warna hijau tua, dengan lampu bulat yang besar di tengahnya, hampir memenuhi atap. Di tambah lagi, karpet berwarna abu gradasi yang sangat menawan.

Sebagian kamar tersebut, berdindingkan kaca, yang juga berfungsi sebagai jendela sekaligus pintu yang mengarahkan ke arah balkon dengan pepohonan yang rimbun.

Tanpa dia sadari, dia sudah mulai berkeliling, menyentuh satu persatu perabotan kamar tersebut. Zahwa tidak tahu kenapa, dia seperti sedang di tempatnya sendiri. Kamar itu, memiliki ciri khas seperti kamarnya di rumahnya dulu. Bahkan lebih seperti kamar impiannya selama ini.

"Wow! Kamar ini keren!" Ungkapnya.

Walaupun berdebu, tapi kamar ini tetap tidak meninggalkan kenyamanannya. Rasanya Zahwa ingin terus ada di kamar tersebut. Dan membaringkan tubuh di ranjang besar itu.

Namun, suara bel rumah berbunyi. Mengurung niatnya untuk merasakan empuknya ranjang kamar tersebut. Dia segera menuju balkon kamar tersebut.
Lewat balkon tersebut dia bisa melihat ke bawah, siapa tamu yang sedang berkunjung sekarang. Dan benar, Zahwa melihat Bik Asih, di sana. Beliau celingak-celinguk, seperti orang asing.

"Bik Asih?!!!" Panggil Zahwa keras.

Bik Asih yang mendengar suara Zahwa sontak melihat ke atas. Bibirnya merekah setelah melihat anak majikannya itu. Dari bibirnya, bisa Zahwa tahu jika Bik Asih sedang  mengucapkan Hamdalah.

Tanpa menunggu lama, Zahwa langsung keluar kamar. Menurun tangga, menuju pintu utama.

"Assalamualaikum, Bik!!!" Serunya. Langsung ia peluk tubuh paruh baya itu.

"Waaikumsalam, Non. Seneng, Alhamdulillah... Ternyata saya gak salah alamat," balasnya.

Zahwa tersenyum. Lantas mengajaknya masuk ke dalam rumah. Bik Asih terkagum-kagum melihat isi rumah.
Yah, bisa dia katakan, jika rumah Zahwa dulu, memang kalah mewahnya dengan rumah suaminya saat ini.

"Non, yang tinggal di sini, cuman Non sama suami saja?" tanya Bik  setelah dia duduk di sofa ruang tamu.

Zahwa mengangguk, dengan tersenyum. Sembari  menyiapkan sirup untuk beliau.

"Gak kualahan, Non?" tanya Bik Asih lagi. Matanya masih belum lepas dari setiap penjuru ruangan.

"Kualahan, Bik. Capek aku, tiap hari ngurus rumah ini sendirian. Mangkanya, aku manggil Bik Asih lagi. Hehehe," ujar Zahwa.

Zahwa mempersilahkan Bik Asih untuk meminum sirup yang sudah ia suguhkan.  Gak mungkin juga dia langsung memintanya, untuk bekerja. Walaupun tadi suaminya langsung memberikan tugas untuk Bik Asih.

"Sekarang, tenang, Non! Bik Asih sudah ada di sini!" Ucap Bik Asih bangga.

Mereka berbincang-bincang tentang banyak Hal. Soal Bik Asih yang semestinya hari ini kembali ke kampung, tapi karena telpon dari Zahwa tadi, dia langsung mengurungkan niatnya untuk pulang. Tentang Zahwa yang juga belum terlalu hafal dengan seisi rumah dan baru tadi dia keliling rumah. Terakhir, tentang orang tua Zahwa, yang membuatnya langsung ingin menghentikannya. Tidak tahu mengapa, Zahwa merasa jika hatinya belum sepenuhnya siap jika mengingat orang tuanya sudah tidak ada.

"Jadi, Bik. Bukannya aku tidak ingin Bibi istirahat dulu, tapi tadi suamiku langsung meminta Bibi membersihkan salah satu kamar di sini. Katanya itu kamar kakaknya dan dia akan pulang beberapa hari lagi," kata Zahwa.

"Tidak apa-apa, Non. Siap pokoknya. Di mana kamarnya?" tanya Bik Asih semangat. Membuatnya tidak sungkan lagi.

Sebelum itu Zahwa mengantar Bik Asih ke kamarnya. Baru setelah itu dia mengajak Bik Asih ke kamar yang belum sempat ia tutup pintunya tadi.

"Non, kamar ini seperti milik punya, Non.''

Baru saja Bik Asih masuk, dia sudah terperanjat dengan desain interior kamar ini. Pikirannya pun sama, jika kamar itu memiliki suasana yang serupa dengan kamar Zahwa di rumah.

"Iya, Bik. Kebetulan sekali, ya?" Balas Zahwa.

Zahwa mulai menata beberapa barang yang dia rasa kurang pas di tempatnya. Zahwa juga menyibak tirai besar yang menutupi jendela kaca sekaligus pintu balkon tersebut. Banyaknya debu membuatnya terbatuk-batuk.

"Sepertinya, memang sudah lama tidak di tempati, Non," kata Bik Asih.

Dia sudah mulai menyapu, dan membersihkan debu.  Zahwa keluar dari kamar, dan menuju balkon. Mengambil sapu, dan mulai menyapu lantai balkon tersebut. Banyak daun kering, di sana. Pot-pot kecil, juga ada yang pecah, tanaman banyak yang mati karena tidak di rawat.

Selesai menyapu. Zahwa menata pot - pot kecil tersebut. Memilah, mana yang masih bisa untuk di tempatkan, di sini dan beberapa lainya aku buang karena sudah tidak bisa untuk hiasan lagi.
Mungkin, jika ada waktu dia akan keluar membeli beberapa tanaman dan meletakkan di sini.

Sempat menyayangkan, jika kamar itu bukanlah kamar suaminya. Memang tidak kalah bagus. Tapi, entah mengapa kamar ini langsung membuat dirinya jatuh cinta.

Menjadikan dia  penasaran dengan sosok pemilik kamar ini. Ingin cepat bertemu, mungkin saja dja lebih kalem dari pada suaminya. Terlihat dari pemilihan warna dan juga desain kamar saja, Zahwa merasa mereka sudah berbeda.

Ternyata membersihkan kamar tersebut cukup memakan waktu yang lama. Padahal, mereka sudah memulainya dari siang. Tapi, sampai menjelang sore. Kamar ini masih saja berantakan.
Zahwa meminta Bik Asih untuk istirahat sehabis kami sholat ashar. Dia pasti juga kelelahan. Badan Zahwa saja, rasanya sudah remuk redam.

"Bik, nanti kalau capek. Makan malamnya, pesan saja. Mas Hanan, bilang dia juga baru pulang kantor menjelang Isya'," Ujar Zahwa saat kami sama-sama sedang melepas lelah di dapur.

"Bibi masih sanggup masak, kok, Non. Biar Bibi masak makan malam saja," Balas Bik Asih. 

Karena itulah, keluarga Zahwa sangat suka dengan Bik Asih. Dia tidak kenal lelah, pun tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Padahal, dia perempuan, dan usianya sudah menginjak lima puluh tahun. Tapi stamina dan tenaganya Zahwa akui, dia kalah darinya. Lempeng banget jika harus mengerjakannya tugas rumah tangga. Sedikit-dikit bilang capek, panas, remuk badannya dan lain sebagainya.

Apalah Zahwa, jika tidak ada Bik Asih.
Sore pun berganti malam. Di saat itu Zahwa sudah kembali ke kamar tadi. Untuk sekedar merapikan beberapa barang. Mengembalikan barang pada tempatnya. Setelah di rasa, cukup beres, dia menuju balkon lagi.

Malam ini Zahwa melihat sang purnama bertengkar dengan gagahnya. Di kelilingi para bintang, yang bertaburan. Angin malam berhembus mesra, membuat mata yang tadinya terjaga, ingin cepat terpejam saja.

Langit malam dan sang rembulan seolah sedang tersenyum kepadanya. Namun ingatan rembulan saat ini. Membuatnya teringat pada malam itu.

Malam di mana, Zahwa menentukan jalan cintanya untuk pertama kalinya. Namun, entah bagaimana setelah malam ini? Bisakah jalan itu ia lewati lagi, atau sudah saatnya dia mengambil langkah untuk tidak melewatinya lagi?

Menikahi Calon Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang